Cara Menjadi Lebih Bahagia: Suatu Refleksi di Usia 19 Tahun

Karina
7 min readFeb 25, 2023
Perayaan ulang tahun pertama bersama orang lain di luar keluarga di hidupku.

Bagaimana agar aku menjadi bahagia? Versi lampau diriku akan menjawab: saat terpenuhinya berbagai persyaratan; dengan kata lain keinginan, eksternal dan internal. Konsekuensinya adalah bahagia itu bersyarat.

Bagaimana agar aku menjadi lebih bahagia? Dua kali lipatkan syarat. Maka, saat syarat itu telah terpenuhi, aku akan merasakan intensi kebahagiaan yang lebih dalam.

Aku bahagia saat aku bisa menyelesaikan empat buku per bulannya. Dalam hitungan bulan intensi bahagia yang kurasakan dari terpenuhinya persyaratan ini menjadi tak memuaskan. Kemudian aku membuat syarat baru: aku akan lebih bahagia jika aku bisa menyelesaikan enam buku per bulannya. Itu maksudnya membuat syarat menjadi dua kali lipat. Apa yang terjadi? Intensi kebahagiaan yang lebih dalam. Dan lingkaran kebahagiaan dan ketidakpuasan terus berlanjut.

Aku terjebak dalam lingkaran pemuasan keinginan yang tak berujung yang menjadi syarat kebahagiaanku; jika aku memenangkan juara satu dalam kompetisi itu, jika aku berpenampilan lebih cantik, jika aku berpasangan dengan orang yang lebih menyenangkan, jika aku mendapatkan pekerjaan dengan upah yang tinggi, dsb.. Semua syarat kebahagiaan di atas adalah ekspektasi eksternal yang sifatnya kuanalogikan "harus aku raih dengan tanganku".

Satu hal penting yang kupelajari di usia 19 tahun adalah kebahagiaan bukanlah suatu konsekuensi persyaratan yang terpenuhi atau suatu hal yang "teraih", melainkan suatu hal yang tempat sekaligus tumbuhnya dari dalam diriku. Kebahagiaan terkandung dalam keberadaanku sendiri. Dengan itu, rasa puas, contentment, sendirinya menyertai.

Setahun terakhir aku belajar cara menumbuhkan kebahagiaan. Ya, bukan belajar cara meraih kebahagiaan.

Sejauh ini, aku menemukan dan melakukan tujuh cara yang dapat menumbuhkan kebahagiaan dalam diri yang sifatnya "start small". Meski begitu, tak dapat kukatakan seluruhnya sederhana. Namun, kita cukup memenuhi dua syarat: niat meninggalkan pola hidup lama dan menyediakan ruang untuk kebahagiaan itu sendiri.

1. Merawat diri

Banyak bentuk merawat diri sendiri. Yang kubicarakan di sini adalah merawat fisik diri.

Baru empat tahun aku memulai rutinitas skincare untuk wajah dan badan: pembersih wajah, toner, pelembap wajah, tabir surya, pelembap untuk badan, dsb. Rutinitas skincare ini kulakukan di pagi dan malam hari, sebelum memulai aktivitas dan mengakhiri hari.

Bagiku, rutinitas ini adalah manifestasi rasa welas asih dan kepedulian pada diri. Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa aku hidup dalam tubuh ini. Dan tubuh ini bukan hal yang tak layak untuk dirawat.

Dalam kondisi terpuruk, hal pertama yang mendominasi manusia adalah kecenderungan untuk "menyingkirkan" diri sendiri. Menyingkirkan dalam arti kita tak memperlakukan diri kita dengan layak. Tapi, aku telah melawan kecenderungan itu.

2. Menulis jurnal keseharian

Be mindful of your life's routine. Sejak tiga tahun lalu, aku belajar untuk memperhatikan keseharianku kemudian melakukan refleksi (menulisnya) tiap di penghujung hari. Dan, aku melakukan journaling setiap hari.

Apa yang terjadi hari ini? Bagaimana perasaanku tentang itu? Langkah apa yang kulakukan? Pelajaran apa yang kudapatkan? Apa yang membuatku senang atau sedih? Apa yang dapat kusyukuri hari ini?

Seringkali manusia tak memperhatikan apa yang terjadi pada kesehariannya.
Di sini aku mengingatkan, keseharian layak untuk ditulis, dalam keadaan ada atau tiada hal "krusial" terjadi!

Bagaimana hal ini membuatku menjadi lebih bahagia? Journaling adalah pengingat bahwa aku sedang menjalani hidup dan mendorongku melakukan refleksi atas hariku, hal yang dapat kuperbaiki maupun tingkatkan. Hal yang menyenangkan dari journaling adalah aku menjadi lebih perhatian pada hal-hal kecil yang membuatku bahagia. Ya, sekalipun kecil.

3. Memproses emosi yang muncul

Satu pelajaran krusial yang terus aku ingat adalah: batin manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan intervensi pada emosi/perasaan negatif yang muncul di kesadaran. Itu karena emosi negatif menimbulkan sensasi perih. Sama seperti rasa sakit pada fisik yang kita usir dengan obat dan perawatan, batin melakukan intervensi atau menolak emosi negatif dengan mengusir atau mengabaikannya.

Hal ini tak meringankan sensasi perih tadi. Justru, yang terjadi adalah kita semakin menderita. Karena penderitaan tak hanya muncul berdasarkan intensitas dari rasa sakit semata, tetapi juga dari besarnya intensitas penolakan.

Aku melatih batinku untuk tak melakukan intervensi atas berbagai jenis emosi negatif yang muncul. Kumulai dengan memperhatikan sensasi yang tubuhku rasakan saat emosi tertentu muncul. Langkah selanjutnya aku mengindentifikasi emosi itu. Kemudian, just ride the wave; rasakan dan larutlah. Emosi itu akan berangsur pudar karena batin kita mengizinkan untuk menampungnya dan memprosesnya.

Bagaimana hal ini dapat membuatku menjadi lebih bahagia? Pertama, emotions make human, human. Emosi memenuhi diriku sebagai manusia. Merasakan atau memproses jenis emosi apapun yang muncul meringankan hatiku, langkahku, dan keberadaanku.

4. Welas asih

Welas asih (self-compassion) adalah sikap memperlakukan diri sendiri dengan kelembutan dan penuh sayang. Banyak jenis welas asih. Di sini aku hanya membicarakan sedikit.

Salah satu satu contoh kecil yang sering luput adalah cara kita berbicara pada diri kita sendiri. Notice how you talk to yourself all day and you'll be surprised. Aku belajar untuk melakukan delicate self-talk pada diriku.

Dulu saat aku melakukan kesalahan, suara internalku akan berteriak, mengaungkan makian atau penghakiman yang kasar seperti, "Kamu bodoh. Begini aja kamu gak bisa.". Sekarang aku belajar bahwa suara internal semacam itu tak boleh tetap dibiarkan. Meskipun kecil tapi ketika itu terjadi berulang dan terus-menerus, pada akhirnya akan terakumulasi dalam bentuk kebencian pada diri sendiri.

Antidote-nya adalah suara internal itu diisi dengan afirmasi positif dan apresiasi. Inti afirmasi positif adalah perkataan baik yang ditujukkan pada diri sendiri. Contohnya, "Aku akan mampu mengurai dan melakukan hal ini meskipun kelihatan sulit". Atau, ketika melakukan kesalahan, ubah makian kasar itu menjadi: "Bagian ini ternyata aku lakukan salah. Aku akan mencari cara lain dan mencoba lagi".

Lalu, apresiasi diri ketika berhasil melakukan sesuatu. Delicate self-talk adalah hal yang sederhana tapi memberdayakan diri kita dan mendorong kita untuk mencoba sekali lagi dan sekali lagi.

Contoh welas asih lain yang sangat memberdayakan adalah melatih diri kita tersedia sebagai pendukung emosional nomor satu diri sendiri, yang tak berpaling atau meninggalkan saat kita dalam keadaan sulit.

5. Mengambil beban ekspektasi yang sesuai dengan kapasitas diri

Pekerjaanku sekarang adalah membuat buket cantik setiap harinya. 😊

Hal ini aku pelajari saat sudah mulai bekerja. Dalam pekerjaan aku cenderung membebankan diriku dengan ekspektasi yang berat. Beban ekspektasi itu terasa seperti sebongkah batu besar pada punggungku dan menyesakkan dadaku ketika aku gagal memenuhinya.

Aku belajar untuk memperhatikan porsi beban ekspektasi yang pasti dapat kutanggung dan kupenuhi. Tak boleh lebih. Misalnya, aku mampu membuat 10 buket dalam 10 jam. Cukup berhenti di situ.

Ekspektasi yang tak terpenuhi adalah hal yang menyakitkan bagi manusia. Lebih-lebih ketika terjadi berulang. Sebagai konsekuensi, ketidakpuasan, kekecewaan, kemarahan, dan kegelisahan menyertai kita. Perhatikanlah, dalam jenis ekspektasi apapun kita memasukkan kebahagiaan sebagai ganjaran di dalamnya, disadari atau tidak. Maka, ambil lah beban ekspektasi yang sesuai dengan kapasitas diri kita.

6. Antusiasme dan keingintahuan

Pengalaman baru: mengajar dalam kelas membuat buket!

Antusiasme dan keingintahuan adalah hal yang powerful. Beberapa waktu lalu aku bersama rekan kerjaku mendapat kesempatan mengajari sepuluh Ibu-Ibu membuat buket. Pengalaman yang sungguh baru untukku; harus berhadapan sekaligus mengajari banyak orang. Merasakan kegugupan dan kekhawatiran adalah hal yang wajar dalam situasi seperti itu, ya?

Tapi, aku menggiring diriku dalam perasaan antusias dan ingin tahu: "Aku antusias dan ingin tahu bagaimana suasana kelas buketnya dan prosesnya karena ini kali pertamaku". Perasaan antusias dan ingin tahu itu membuatku jauh lebih tenang dan fokus dengan apa yang harus kulakukan.

Hal ini membuatku menjadi lebih bahagia karena saat rasa gugup dan khawatir dapat mendominasi, yang akan membebani diriku dan menciptakan derita, di sisi lain, aku juga dapat memilih rasa antusias dan ingin tahu untuk menggerakkanku mendekati hal yang tak familier bagiku. Dengan begitu, aku sedang melangkah menuju pengalaman baru dalam hidup, yang membuka kesempatan untuk banyak pelajaran.

7. Memperhatikan penyaluran energi

Menyalurkan energiku dalam buku bacaan bagus.

Be mindful of where to invest your energy. Semenjak bekerja aku menginvestasikan sebagian besar energiku pada pekerjaanku. Setelah seharian bekerja aku tak banyak punya energi tersisa. Di titik ini aku belajar untuk menyalurkan energiku yang terbatas dengan tepat. Juga yang tak kalah penting, memperhatikan dan mempertimbangkan, "Apakah layak dan tepat menyalurkan energiku pada hal ini?".

Tak semua hal layak kita berikan energi kita. Dari pengalamanku, aku menilai tak layak memberikan energi pada hal yang justru hanya "menyedot" diri kita, misalnya terlalu intens larut dalam kemarahan, kebencian, dan kemuakan.

Contohnya, di era sekarang, semua hal serba "di-spill" atau diungkapkan, dan dengan mudah serta instan memenuhi tiap benak massa dengan emosi tersebut di atas. Aku juga dapat memilih untuk ikut tenggelam di dalammya, tapi aku memilih memproteksi energiku untuk hal-hal yang lain. Juga, dari pengalamanku, social media detox adalah hal yang berdampak baik dan membuatku jauh dari beban yang tak perlu ada!

Memberikan porsi energi yang besar untuk diri sendiri, pertumbuhan, dan kualitas hidupku adalah hal paling krusial yang membuatku menjadi lebih bahagia.

Tulisan ini sungguh sangat panjang. Dan aku menulis dalam bahasa kaku untuk memaksimalkan tersampaikannya intensiku dengan tepat.

Di usia 19 tahun ini aku belajar banyak hal krusial. Dan aku ingin teruskan hidup ini untuk mengetahui bagaimana aku bertumbuh. Saat ini aku berpendapat, bahwa meraih kebahagiaan bukanlah tujuan agung hidup, melainkan menjalani, mencintai menjadi hidup itu sendiri adalah kebahagiaan. Atau dengan kata lain, happines is living the joy of being.

“Verdriet en geluk, smartelijke pijn en uitbundige liefde, zij zijn als wisslende jaargetidjen. Toch is het leven waard om geelefd te worden.

Kesedihan dan kebahagiaan, sakit duka nestapa dan cinta menggelora, mereka bagaikan musim berganti. Namun, hidup adalah berharga untuk dihidupi.”

April 1969, Haarlem.

--

--