Dari Kesenyapan Tembok Puri Biang ke Kecamuk Perang Korea

Karina
5 min readJan 30, 2022

Haloo. Berikut aku ingin bercerita tiga buku yang kubaca di bulan pembuka 2022. Judulnya biar keren aja, samaan kayak Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya sastrawan Idrus, hehe.

Bacaanku bulan ini bervariasi: fiksi, filsafat, dan terakhir karya jurnalistik. Ketiganya sangat kusukai. Mari kita mulai!

1. Bila Malam Bertambah Malam, Putu Wijaya

Novel pertama Putu Wijaya yang kubaca. Novel ini mengangkat tema kebangsawanan dan kasta di Bali. Bercerita tentang sebuah rumah yang didiami oleh seorang janda bangsawan bernama Gusti Biang. Dia adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi status kebangsawanannya. Perilaku janda tua itu sangat angkuh, tempramental, dan diam-diam mendapatkan rasa aman berada dalam kungkungan tembok rumah yang memisahkan kediamannya dengan dunia luar. Lebih implisit lagi, tembok itu berperan sebagai sebuah sekat yang tak dapat ditembus: Gusti Biang yang berkedudukan "tinggi" dan dilahirkan di Puri sangat berbeda dengan orang-orang biasa di luar sana.

Gusti Biang telah berusia 70 tahun. di Hari-hari tua yang kesepian tanpa suami, serta anaknya, Ratu Ngurah, ia ditemani oleh dua bedindenya, Nyoman dan Wayan.

Nyoman adalah seorang gadis berusia 19 tahun. Sejak kecil ia diasuh oleh Gusti Biang. Ketika mulai beranjak dewasa ia menjadi bedinde setia Janda itu.

Di sisi lain, Wayan adalah seorang pria yang sudah sangat tua. Oleh Gusti Biang ia sering dipanggil "Wayan Tua", atau "Setan Tua". Wayan diceritakan suka berpura-pura tuli saat Gusti Biang memanggil, suka melucu, dan menembang Semarandhana, sebuah tembang yang menceritakan kasih yang tak sampai, yang telah berubah menjadi luka sarat.

Novel ini bikin aku numpang bernapas pun sungkan karena sebagian isinya Gusti Biang marah-marah, memaki-maki kedua bedindenya. Omongannya pedas betul. Segala kosakata kasar keluar dari mulutnya. Apapun yang dilakukan kedua bedinenya selalu salah di matanya, membuat darahnya naik. Dalam kemarahan itu terselip keangkuhan yang rapuh, Gusti Biang berusaha keras mempertahankan citra kebangsawanannya dengan cara merendahkan kedua bedindenya.

Novel ini mengandung plot twist yang mengejutkan bagiku. Aku juga suka bagaimana Putu Wijaya menutup cerita, tetapi aku masih penasaran dengan satu hal, kelanjutan percintaan Nyoman dengan Ratu Ngurah.

Salah satu hal yang membuatku kagum dari Bila Malam Bertambah Malam adalah jika diibaratkan sebagai adegan film aku merasa latar novel ini tidak bergerak, terbatas di halaman rumah Gusti Biang, dibatasi tembok yang sering diceritakan tersenyum mengejek pada Gusti Biang. Kerennya Putu Wijaya bisa bicara luwes sekali.

2. Antropologi Filsafat Manusia (Paradoks dan Seruan), Adelbert Snijders

Apa itu filsafat manusia? Berikut definisinya menurut buku Antropologi Filsafat Manusia:

Suatu refleksi atas pengalaman yang dilaksanakan dengan rasional, kritis, serta alamiah, dengan maksud untuk memahami diri manusia dari segi yang paling asasi ... Titik tolak refleksi untuk filsafat manusia adalah pengalaman manusiawi.

Aku sangat menikmati isi buku ini, isinya terstruktur dan penjelasannya detail. Buku yang bagus untuk gerbang investigasi eksistensi manusia. Rasanya seperti belajar sesuatu yang baru tentang manusia, belajar menjadi manusia. William A. Luijpen berkata, "Being man is having to be man". Hakikat manusia merupakan suatu seruan etis untuk manusia.

Motivasiku membaca buku ini adalah karena aku ingin mengetahui makna eksistensiku di dunia, dan bagaimana filsafat memandang manusia. Funny enough, mataku baru "terbuka" pada eksistensi diriku, keberadaan diriku, saat aku berusia 15 tahun, itu artinya sejak tiga tahun lalu aku mulai bertanya, "Siapakah aku? Apa makna eksistensiku di dunia?"

Kusadari bahwa kamu bisa hanya eksis, serta menjalani hidupmu, tanpa menyelidiki keberadaanmu sendiri. Kupikir berada adalah hal yang paling misterius.

Menurut Martin Heidegger, seorang filsuf asal Jerman beraliran Eksistensialisme, kita telah lupa menyadari bahwa kita hidup. Dalam kehidupan ada satu misteri besar eksistensi Das Sein, being, atau keberadaan. Ada momen kita menyadari keanehan pada semua hal. Mengapa semua hal sebagaimana adanya, mengapa kita berada di sini bukan di sana.

Heidegger ingin mengatakan, seharusnya manusia sadar akan kehidupan. Sadar bagaimana dia harus menjalankan kehidupan, dan tidak mau diseret dengan rutinitas kehidupan. Ketika kita mempunyai kesadaran, seharusnya kita mengarahkan kesadaran itu ke objek tertinggi, kehidupan itu sendiri. Kehidupan akan jadi bermakna jika kita sadar, dan kita memilih makna apa yang ingin kita bangun.

Dalam perjalanan investigasi eksistensial ini aku telah mempelajari sedikit makna-makna menjadi eksis yang ditawarkan oleh para Filsuf barat. Misalnya Albert Camus, seorang filsuf Prancis beraliran Eksistensialisme yang ateis, berpendapat hidup ini bersifat absurd: manusia menginginkan makna objektif, tetapi kapasitas intelektualnya tak sanggup menemukan makna tersebut di dunia yang begitu misterius. Itu adalah inti filsafat absurdismenya yang terkenal.

Di dunia yang absurd ini, aku memutuskan untuk terus melakukan pencarian terhadap makna eksistensiku sebagai manusia. Sejujurnya, itu adalah salah satu alasanku untuk terus bertahan hidup.

3. Catatan Perang Korea, Mochtar Lubis

Catatan Perang Korea adalah karya jurnalistik pertama Mochtar Lubis yang kubaca. Buku ini membuat hatiku nyeri.

Mochtar lubis menulis apa yang dilihatnya dengan kacamata seorang manusia menyaksikan kecamuk hebat dan penderitaan manusia Korea dalam Perang Korea.

Perang Korea terjadi pada 1950-1953. Dimulai pada 25 Juni 1950 ketika sebanyak 75.000 Tentara Rakyat Korea Utara terjun melintasi batas paralel ke-38 yang memisahkan Republik Demokratik Korea Utara yang didukung Soviet, dan Republik Korea selatan yang pro-Barat. Perang ini juga disebut perang proksi antara Amerika Serikat bersama sekutu PBB-nya dengan komunis Republik Rakyat Tiongkok yang bekerja sama dengan Uni Soviet.

Mochtar Lubis menulis dengan sangat baik. Beliau menyertakan suara manusia-manusia yang menderita dalam kecamuk Perang Korea, tidak seperti para jurnalis perang Amerika yang diceritakan hanya meliput berita yang berhubungan dengan kepentingan mereka masing-masing. Gaya bercerita beliau mengalir dan enak dibaca, seperti mendengarkan tuturan dari beliau sendiri.

Berikut adalah kutipan favoritku dari Catatan Perang Korea:

Saya rasa, tentang Perang Korea ini amat sedikit ditulis tentang orang Korea sendiri. Rasa mereka, penderitaan mereka dan harapan mereka. Tiap hari kita dengar dan baca tentang kemajuan-kemajuan pasukan Amerika atau Korea Selatan. Opsir ini gagah berani, menang di sana dan di situ. Penerbang anu telah membom ini dan itu. Tetapi amat jarang ditulis penderitaan orang Korea sendiri. Perang ini katanya dilakukan untuk memerdekakan mereka atau mempertahankan kemerdekaan mereka. Tapi siapa yang bisa perkirakan dalam hati orang-orang malang ini, apa mereka suka pada perang seperti ini terjadi. Desa-desa mereka yang dibakar musnah, maut dan kelaparan yang mengamuk tidak kenyang-kenyangnya. Rakyat tidak pernah ditanya. Mereka tidak tahu untuk apa ini semua.

Halaman 39-40

Sekian ulasan tiga buku yang kubaca Januari 2022 ini. Terima kasih sudah membaca! :)

--

--