Empat Nonfiksi di Bulan September: Sebuah Tanya di Antara Puing Kengerian Perang Dunia II (Bagian I)

Karina
6 min readOct 10, 2022

Bagaimana seorang manusia dapat menanggung derita dan kengerian perang, dan bagaimana mereka dapat mempertahankan kehidupan?

Bulan September 2022 aku ikut acara membaca yang diisiasi Baca Buku Sejarah Bareng, sebuah komunitas membaca sejarah di Twitter, yang setiap bulannya digelar dengan tema umum dan khusus, yang bervariasi. Tema khusus bulan September adalah sejarah Gerakan 30 September 1965. Pemilihan yang tepat.

Aku pernah berpartisipasi penuh di bulan Maret dengan tema khusus Sumatra, dan tema umum sejarah Indonesia dan luar negeri. Pengalaman membacaku sangat menyenangkan. Aku membaca total tiga buku, dua nonfiksi dan satu fiksi. Buku-bukunya adalah; 1) Jejak Planters di Tanah Deli Dinamika Perkebunan di Sumatra Timur 1863–1996; 2) Dan Perang Pun Usai; 3) Laskar revolusioner Sumatera Timur : dari revolusi sosial di Simalungun sampai kudeta gubernur Sumatera. Buku-buku yang sangat bagus!

Dari seluruh ilmu pengetahuan, aku sangat suka sejarah. Menyusuri garis waktu, menyibak yang lampau, untuk menemukan hal-hal menakjubkan, mengherankan, menakutkanku, yang meninggalkan rasa ngeri setelah membaca sejarah yang sangat buruk. Kemudian, kepalaku digenangi pertanyaan, "Bagaimana seorang manusia dapat menanggung penderitaan yang hebat, dan bagaimana mereka dapat mempertahankan kehidupan?". Pertanyaan itu muncul saat aku membaca korban pembantaian dari revolusi Simalungun, Sumatra Timur. Atau, nasib para tentara Jerman dan Tentara Merah yang berperang di Soviet, di Stalingrad, pertempuran berdarah di mana tiap jengkal tanah, rumah ke rumah, blok ke blok, diperebutkan dengan duel satu lawan satu di jalanan.

Membaca sejarah bagiku adalah sebuah kebutuhan untuk memenuhi rasa keingintahuanku. Tidak ada hal yang begitu memacuku selain pertanyaan, "Mengapa (keadaan) dunia adalah sebagaimana itu adanya?". Selanjutnya, sebagai usahaku untuk sedikit mengatasi ketakutan bahwa banyak hal yang telah terbenam dalam dunia tidak akan dapat kumengerti. Aku tidak menyukai perasaan bahwa aku membenam di dunia tanpa mengetahui banyak hal-hal tentangnya.

Buku yang kubaca September ini ada empat. Pertama, Perang Eropa jilid I oleh P.K. Ojong, Lekra dan Geger 1965 oleh Tim Buku TEMPO, Njoto: Sang Peniup Saksofon di Tengah Praha oleh Tim Buku Tempo, dan terakhir Dari Buku ke Buku oleh P. Swantoro.

Berikut aku ingin bercerita agak panjang tentang keempat bukunya.

1. Perang Eropa Jilid I oleh P.K. Ojong

Seri perang (Perang Pasifik dan Perang Eropa, terdiri dari tiga jilid buku) yang ditulis P.K. Ojong masuk daftar buku favorit seumur hidupku. Pengalaman membaca secara umum, dan secara khusus, tentang perang, yang luar biasa.

P.K. Ojong adalah penulis baru favoritku sejak aku selesai membaca nonfiksi Perang Pasifik (1941-1945), perang antara Kekaisaran Jepang dengan Amerika Serikat. Aku sangat takjub kisah perang dunia bisa dituliskan P.K. Ojong dengan cara yang memikat sekali. Aku tak mau membaca perang dalam gaya penulisan khas buku pelajaran sekolah. Fakta-fakta yang dikemas dengan gaya bercerita yang kering. Memang, berdaging, itu penting, tapi kering! Maksud berdaging adalah hanya intisari cerita yang disajikan. Tapi, apakah menarik menelusuri sejarah perang, suatu peristiwa yang kompleks, yang membutuhkan level komprehensi mendalam, dengan gaya penceritaan yang membuat suntuk, dan akibatnya, pembaca tak merasa engage dengan bukunya?

Seri Perang Eropa membahas jalannya Perang Dunia Kedua (1939-1945) yang dimulai dengan invasi Jerman ke negara tetangganya, Polandia. Di Jilid I aku merasa kita melihat jalannya perang melalui sudut pandang Jerman, yang berperang dengan sekutu yang terdiri dari beberapa kekuatan besar, menghadap jajaran "biduk" paling utama: Inggris, Amerika Serikat, dan Rusia.

Hal yang juara tentang Perang Eropa Jilid I

Pertama, gaya bercerita P.K. Ojong yang tidak kaku, lugas, hemat, dan tepat. Cara penyampaian beliau membuatku cepat menangkap apa yang sedang terjadi.

Kedua, cerita (bab) dibagi dalam puluhan babak (subbab). Supaya mudah membayangkannya, dalam Jilid I, salah satu bab favoritku, yaitu bab 13, berjudul "Kapal Dagang pun Menjadi Perampok Rahasia". Dalam bab yang membahas kapal-kapal dagang Jerman yang disulap menjadi gerombolan secret raiders (pembajak rahasia) yang kerja utamanya tentu membajak kapal-kapal perang sekutu, untuk kemudian menggaramkannya ke laut (memusnahkan, mengenggelamkan), beberapa subbab secara berurutan adalah sebagai berikut; Kamuflase dan Daya Tahan; Kapten Kapal yang Kejam; Diuber dan; Raider Lawan Kapal Perang. Subbab ini panjangnya setengah sampai paling banyak dua halaman. Jadi, fokusku diarahkan pada puzzle-puzzle kecil cerita yang membentuk peristiwa yang diangkat secara utuh. Kita melipir sebentar, ya, menengok pembahasan yang sangat kusukai selain U-Boot Jerman, yaitu…

Secret raider Jerman: Musuh Kapal Dagang yang paling Ditakuti Sektutu

Di atas adalah salah satu secret raider Jerman yang terkenal, Atlantis. Bagi Kriegsmarine (AL Jerman) namanya Schiff 16. Bagi Royal Navy (AL Inggris), Raider-C. Berlayar pada Maret 1940 di bawah pimpinan Kapitän zur See Bernhard Rogge. Dalam 602 hari berhasil menggaramkam 22 kapal dagang musuh, kebanyakan punya Inggris.

Secret raider/pembajak rahasia adalah kapal dagang/pengangkut barang biasa di masa damai tapi saat PD II berubah menjadi alat perang. Pada 1940-1943 Jerman melepaskan kesembilan secret raider yang seringkali bertukar nama dan menyamarkan bentuk sehingga sulit menentukan identitasnya. Apa gunanya secret raider Jerman ini? Untuk mengelabui musuh, membajak kapal, merampas muatan dan awak, terakhir kapal akan ditenggelamkan. Keberhasilan kesembilan kapal pembajak ini sangat gemilang, yaitu menenggelamkan 130 kapal dagang dengan tonase lebih dari 850.000 ton!

Dalam subbab Kamuflase dan Daya Tahan, aku menyusuri cara kapal pembajak Jerman ini berkamuflase dari kapal-kapal sekutu. Mereka mengerahkan usaha yang luar biasa dalam menyulap penampilan kapal menjadi kapal yang sekiranya mengapung tak berbahaya, aman dari torpedo, meriam, peluru, artileri kapal-kapal sekutu. Mereka, anak buah kapal pembajak Jerman itu, menggerek bendera negara pura-pura, menyembunyikan meriam berukuran 45 sentimeter, menaruh "penumpang-penumpang" kapal berpenampilan tertentu. Ketika kapal-kapal sekutu yang melintas jalur kapal pembajak ini, mereka akan menggerek turun bendera negara penyamaran dan menggantikannya dengan bendera Jerman, yang membuat kaget penumpang kapal sekutu. Saat itulah, bombardir dari secret raider dimulai, dan nasib menyedihkan telah digariskan pada penumpang kapal yang malang.

Subbab ini, pemenggalan babak, bagiku sangat menarik, dan membantuku menyusun gambaran runut medan perang.

Terakhir, poin ketiga Perang Eropa karya P.K. Ojong mempunyai elemen-elemen yang membuat bahasan peran yang surem ini, menjadi "hidup", yaitu guyon dan antusiasme. P.K. Ojong. Guyon yang sesekali diselipkan, yang membuatku ketawa kecil. Lalu, secara keseluruhan aku merasa cerita dipaparkan dalam antusiasme. Kamu bakal mengerti poin ketiga ini saat kamu membaca bukunya.

Oke, itu tiga poin penting mengapa seri Perang Eropa sangat aku rekomendasikan untuk dibaca.

Setelah menempuh perjalanan panjang dan menyaksikan kengerian perang dari tanah Polandia, Perancis, Afrika Utara, Soviet, tidak bisa dimungkiri aku merasakan kelelahan dan kengerian psikologis yang mendalam. Perang adalah neraka.

Salah satunya adalah cerita penyerbuan Jerman ke Soviet. Das Gespents des Russlandkrieges, Hantu peperangan Rusia (Soviet). Tak habis-habisnya barisan Infanteri, artileri yang ditarik kuda dan motor, meriam semua kaliber, meriam anti-udara, divisi lapis baja, truk pengangkut, stuka, bomber, pemburu menuju Soviet. yang kekuatannya dibagi menjadi tiga sayap yang menyerang ke tiga wilayah dengan tujuan masing-masing; Utara menuju Leningrad; Tengah menuju Kiev selanjutnya Moskow; Selatan menuju Ukraina Selatan, Odessa, dan terakhir Rostov.

Di bab yang membahas Operasi Barbarossa ini, diselipkan kutipan buku The Road to Stalingrad yang ditulis berdasarkan pengalaman prajurit Jerman biasa sewaktu penyerbuan ke Stalingrad. Pasukan Jerman berbaris jalan kaki sejauh 45 mil dalam 2 hari. Kedinginan hebat. Pikiran suram. Reruntuhan tank, rumah. Tak ada pakaian musim dingin. Vogt, temannya terkena ranjau yang meledak sangat dekat. Kedua kakinya tidak ada lagi. Tapi, Vogt masih bernapas.

Ia mandi darah. Matanya, luar biasa besarnya, memandang Franzl. Tangannya yang berlumuran darah diangkatnya. Sambil meratap: "Franzl berikan saya pistolmu, Bitte."

Ah, cukup tentang Jerman. Aku teringat dengan cerita penduduk sipil tak bersenjata, anak-anak, wanita, orang tua tak berdaya, yang juga menjadi sasaran bombardir peluru, artileri, bom dari pesawat. Berapa juta jiwa yang kehilangan keluarga, tempat berpijak, tanah air, juga kehidupan mereka

Kembali kepalaku menggenang tanya, "Bagaimana seorang manusia dapat menanggung derita dan kengerian perang, dan bagaimana mereka dapat mempertahankan kehidupan?"

Artikel ini bersambung ke bagian II.

--

--