Blurb: Ambarawa baru berusia enam belas tahun ketika tentara Nippon membawanya paksa untuk dijadikan Jugun Ianfu atau budak seks.
Cerita pendek ini adalah kepingan cerita Ambarawa menjalani hidup sebagai budak seks di Ianjo Telawang, Banjarmasin.
Banjarmasin, 10 Maret 1943
Semalam suntuk Ambarawa menahan kantuk, namun ia berusaha tetap terjaga dengan perasaan gamang. Sementara jalan tampak tak berujung, hanya rerumputan liar dan prajurit-prajurit Nippon yang berjaga dengan mata nyalang seakan siap menjegal.
Sesekali Ambarawa menggerak-gerakkan kaki telanjangnya yang mulai kaku. Jelas terlihat jari-jari kaki mungil itu tak berhenti bergetar.
Ambara menangkap papan peringatan ‘Verboden voor Honden en Inlander’ atau ‘Terlarang bagi Anjing dan Pribumi’ masih terpasang di tempat-tempat orang Belanda asli atau totok sejauh mata memandang. Restauran, tempat hiburan, losmen-losmen pelacuran tak lagi disesaki oleh orang-orang Belanda. Keadaan lenggang bagai kota mati.
Tak jauh dari sana, puluhan tentara Nippon berkerubung merundingan sesuatu yang pelik dengan asap mengepul dari cerutu mereka. Ia bersama delapan gadis lain dipaksa menaiki kendaraan dengan bak terbuka serupa truk pemasok senjata api yang sering dilihatnya sibuk berlalu-lalang di jalan raya.
Ambara mengedarkan pandangan ke sekeliling, gadis-gadis seusianya meringkuk menyembunyikan air mata mereka. Di ujung truk, terdapat seorang gadis Tionghoa menatap lurus ke arah tentara penjaga. Ia tampak terlihat waras dari yang lain.
Hanya beberapa hari setelah Samarinda direbut, Banjarmasin dikepung oleh tentara Nippon pada 10 Februari 1942. Parade tentara Nippon berbaris berlapis-lapis sambil memangku bayonet di dada kiri mereka tak asing bagi Ambarawa. Ambarawa tidak mengenal tentara berkulit putih dan bermata sipit itu, namun ia segera mengerti negaranya akan diporak-porandakan sekali lagi.
Ambara mengadu nasib sebagai buruh pabrik minyak di Balikpapan selama tiga tahun. Tanpa disangka, tentara Nippon menyerbu tempat itu untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar cadangan panser milik mereka. Peristiwa pembumihangusan instalansi minyak oleh orang-orang Belanda memicu kemarahan tentara Nippon. Mereka memaksa Ambarawa menyaksikan pembunuhan orang-orang Belanda itu.
Ambarawa tak punya pilihan selain melarikan diri dari amukan tentara Nippon. Dengan menyusup kendaraan pejuang pribumi secara diam-diam , ia menuju Banjarmasin—daerah terdekat yang mungkin dicapai Ambara—guna mencari perlindungan.
Suasana di Banjarmasin mengeruh. Tak cukup mengirim ribuan laki-laki pribumi dari berbagai kalangan untuk dijadikan pekerja romusha, gadis-gadis perawan di bawah umur tak bernasib mujur, mereka dieksploitasi oleh prajurit Nippon sebagai budak seks. Ambarawa bersama delapan gadis pribumi lainnya akan dijadikan Jugun Ianfu.
Para Jugun Ianfu direkrut dari desa dengan kekerasan, tipu muslihat, dan ancaman. Sistem rekruitmen tertutup, tidak menggunakan pengumuman resmi seperti romusha. Pemerintah militer Jepang menggunakan bantuan pejabat seperti lurah, camat, dan tonarigumi.
Hawa dingin menusuk tulang rusuk kurus yang terbalut kemben seadanya. Sorot mata salah satu tentara Nippon yang duduk di sudut truk memindai tajam ke arah Ambarawa. Refleks Ambarawa menutupi tonjolan kedua buah dadanya. Bibir tentara itu menyeringai. Betapa ingin Ambarawa wajah menjjikan itu.
Ambara sangat waspada dengan setiap pergerakan tentara penjaga. Tidak ada jaminan bahwa bayonet-bayonet di pangkuan tentara berseragam cokelat itu tidak menyerangnya suatu saat.
“Atama o sagete!” teriak tentara Nippon kepada Ambara untuk menundukkan kepala.
Bunyi geraman dari mulut tentara itu mampu membuat seluruh bahu gadis-gadis Jungun Ianfu berjengkit kaget, namun tak ada satu pun dari mereka berani menoleh apalagi bertatap wajah.
Beberapa menit berselang truk yang mereka naiki singgah di tempat mirip barak yang terkesan ditinggal buru-buru oleh penghuninya.
Ambara mereguk air liur, pandangannya tertuju pada senjata-senjata yang bertumpuk di depan pintu; granat tangan, bayonet, pedang katana, senapan penembak jitu, hingga senapan kaveleri tipe 38 dan 44.
Mereka ditempatkan di Ian-jo Telawang, sebuah kampung di pinggiran kota Banjarmasin. Ambara mematung. Rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya. Pikiran kalut itu tak henti bertanya, apa yang akan terjadi padaku setelah ini?
Sebuah dada keras menghantam punggung Ambarawa. Ambara limbung, tiba-tiba ujung moncong senapan tentara Nippon yang dingin mendarat di bahu kanannya. Ini bukan kali pertama ia menghadapi situasi genting di mana nyawanya terancam. Hanya saja tentara Nippon tak pandang bulu membunuh orang yang dianggap menghalangi jalan mereka.
Ambara melirik nama dada tentara Nippon itu. Haku Mitsuyuki.
Gestur Haku mengisyaratkan agar Ambara segera berkumpul dengan gadis-gadis Ianfu lain. Langkah kaki Ambara menyusuri tanah berkerikil yang menyakitkan. Di sekeliling barak dipenuhi truk-truk. Sampai di daun pintu, Ambara disambut tatapan menjijikan tentara Nippon. Beberapa dari mereka bersiul-siul dan berusaha menyentuh tubuh Ambara.
“Jangan sentuh saya!” jerit Ambara. Peringatan Ambara dianggap angin lalu bagi mereka dan dibalas dengan tawa mengejek yang tak berkesudahan.
Tempat tinggal Ambara dan gadis-gadis lainnya dinamakan rumah bordil atau pelacuran. Sesampainya di rumah bordil, nama-nama mereka diganti menjadi nama-nama Jepang. Tentara Nippon memanggil Ambarawa dengan nama Kazumi. Gadis-gadis Ianfu dikategorikan berdasarkan kadar kecantikan mereka. Ambara yang berwajah jelita dengan kulit kecokelatan menjadi primadona di kalangan tentara Nippon.
Ambara merasa nama itu adalah penghinaan baginya. Kulit Ambara memang kecoklatan, tetapi ia mewarisi paras memesona dari Ibunya. Mata sehitam jelaga milik Ambara berpadanan dengan hitam legam panjangnya yang tergelung rapi. Bentuk hidungnya mengingatkan orang-orang kepada huruf alif, melenakan setiap mata yang memandang.
***
Rumah bordil dipisah oleh kamar-kamar sekat yang sempit. Keadaan kamar jauh dari kata layak; hanya ada kasur dengan seprai berantakan dan nakas kecil di sebelahnya. Ambara merasa tak ada kesempatan kembali. Hanya ada dua pilihan: memberontak dan dibunuh, atau tetap bertahan di tempat pelacuran ini dengan siksaan seumur hidup.
Kaum perempuan yang menjadi Jugun Ianfu kebanyakan berpendidikan rendah dan buta huruf. Mereka semula ingin mencari kerja guna mengubah nasib, untuk pertama kalinya dipaksa menjalani pekerjaan hina, direndahkan oleh bangsa lain di negaranya sendiri.
“Berapa umurmu, Ambara?”
Ambara tersentak dan segera menoleh ke sumber suara. Didapatinya tetangga Bilik gadis keturunan Tionghoa bernama Fang Hua tengah menyedekapkan kedua tangan di dada.
Percakapan mengalir di antara mereka.
Fang Hua bercerita, ia baru berusia delapan belas tahun ketika melarikan diri dari tentara Nippon yang ingin menjadikannya sebagai Jugun Ianfu. Sekarang, ia terjebak dalam situasi yang sama. Tak ada yang melindungi Fang Hua karena seluruh keluarganya menjadi tawanan perang dan sebagian dihabisi di kediaman mereka. Fang Hua terlunta-lunta mencari perlindungan sampai tipu muslihat seorang Nippon kembali menjebloskannya ke rumah bordil.
“Umurku enam belas,” sahut Ambarawa dengan nada bergetar sambil memilin jari-jari tangannya. Fang Hua tahu kondisi psikologis Ambara terguncang hebat lantaran tak pernah terbayangkan ia akan dijadikan budak seks oleh tentara dari bangsa penjajah. Ambara yakin betul nasib buruk silih berganti menimpanya setelah ini.
“Tenangkan dirimu, Ambara.”
Fang Hua meraih telapak tangan Ambara yang sedingin batu pualam. Ambara mengembuskan napasnya pelan, diliriknya empat tentara Nippon Ada tengah berjaga di sekitar mereka dengan tatapan curiga karena tidak mengerti pembicaraan mereka sepatah kata pun.
“Dari mana asalmu dan bagaimana kau bisa di sini?”
“Aku tidak tahu asalku dan orang tuaku. Aku dibesarkan di lingkungan instalasi minyak di Balikpapan. Sejak umur tiga belas aku bekerja di sana sebagai buruh penyulingan minyak dan membantu pengangkutan.”
Sekarang ia merasa rindu pada keluarganya di Balikpapan.
“Aku mencari perlindungan di Banjarmasin dengan cara menumpang rumah warga asli…,” Ambara tak melanjutkan perkatannya. Ia termenung lama sekali.
Bibir ranum milik Ambara bergetar diiringi tititkan air mata yang berubah menjadi tangis pilu. Ia lalu melanjutkan, “tiba-tiba ada tiga tentara Nippon bersenjata datang dan melemparkan tubuhku ke atas truk.”
Ambara hanya gadis berusia enam belas tahun yang menjadi korban atas kejahatan para pejajah biadab. Ia tak pernah mengecap pendidikan, hidup dalam penderitaan perang dan penjajahan tak berkesudahan.
"Aku harap kita mampu bertahan dan keluar dari tempat ini bersama-sama. Tegarkan hatimu. Jangan putus harapan sebab Tuhan selalu bersama kita.”
Ambara meremas pakaian Fang Hua yang robek di sisi kiri bahunya bekas aniaya tentara Nippon. Kemarin, ia dipaksa bersetubuh dengan dua puluh tentara Nippon, lalu memberontak kepada dua tentara yang menolak menggunakan kondom. Kedua tentara itu tidak suka dengan sikap Fang Hua yang lancang. Sebagai balasan Fang Hua menerima tempelengan keras berkali-kali di pipinya.
"Para Nippon bengis itu hanya mau bersetubuh dengan bangsa mereka sendiri, itu sebabnya namamu diubah menjadi nama Jepang. Kau dinamakan Kazumi karena kau cantik. Nippon senang dengan gadis sepertimu, dan gadis cantik menanggung derita lebih berat daripada kami,” tegas Fang Hua.
“Nippon itu tak peduli keadaanmu. Melakukan pemberontakan fisik sama dengan menyerahkan nyawa. Kau bisa lakukan perlawananmu sendiri. Jangan tatap iblis-iblis kecil itu sewaktu mereka berada di atas tubuhmu.”
***
Ambara baru selesai membersihkan tubuhnya. Kamar mandi di rumah bordil serupa kandang peternakan. Bau busuk begitu menusuk hidung, belum lagi bayangan akan para tentara Nippon yang menggerayangi tubuhnya membuat Ambara menahan diri agar tidak muntah. Bau keringat serta wajah-wajah menjijikan itu tepatri jelas di ingatan. Ini adalah minggu ketiga ia bekerja sebagai budak seks.
Netra Ambara tak sengaja menangkap Haku tengah bersandar dengan asap cerutu mengepul tebal. Ambara refleks menutup kembali pintu kamar mandi. Ia meraih potongan kayu yang ditemukannya di dekat pintu. Tiba-tiba Haku mengulurkan sebuah handuk bersih. Ambara terperanjat saat ia menyadari ia tak punya selembar kain pun untuk menutupi tubuhnya ketika kembali ke bilik.
“Tolong minggir,” pinta Ambara setelah menyambut uluran Haku. Haku diam saja dan menjauh. Ambara menoleh ke belakang untuk memastikan tentara Nippon itu tidak mengikutinya.
Ambara tidak pernah berbicara langsung pada laki-laki itu, hanya beberapa kali menemuinya terlibat obrolan ringan bersama beberapa tentara Nippon. Tidak ada yang menarik dari Haku, hanya tripikal orang tak banyak bicara. Dilihat dari penampilannya pun biasa-biasa saja.
Akhir-akhir ini Haku bersikap lain. Haku memang tidak terlihat tertarik berinteraksi, namun ia terkesan memperhatikan hal-hal remeh temeh dari Ambara dan sering menawarkan bantuan. Seingat Ambara, Haku tidak pernah memasuki biliknya selain untuk mengantarkan makanan.
Pukul 12.00 adalah jam kerja para Ianfu, dan mereka bekerja hingga keesokan paginya. Berpuluh-puluh tentara Nippon hilir-mudik mengantre sejak lima belas menit lalu di depan loket yang menjual karcis masuk. Selembarnya dihargai 2,5 rupiah. Di rumah bordil memang terdapat sistem pembayaran, tetapi para Ianfu tidak mendapat seperser pun dari kerja mereka.
Kasur-kasur berderit seirama dengan jeritan para penghuni bilik bordil yang menahan kekerasan dan siksaan dari tentara Nippon. Tidak ada lenguhan-lenguhan penuh gairah selayaknya dua manusia menyatu dalam keintiman. Para pelanggan hilir-mudik memenuhi ruang tunggu.
Di kamarnya, Ambara tengah meringis menahan sakit. Kemaluannya tak henti mengeluarkan darah sejak pagi. Kondisi Ambara memburuk dari seminggu lalu semenjak ia melayani delapan belas tentara dalam sehari. Ia juga menderita luka fisik, kedua paha ambara membiru karena tinju seorang tentara sedangkan kepalanya terasa berat sehabis terbentur di sisi ranjang yang keras.
Selama tiga bulan bekerja sebagai Jugun Ianfu, hanya dia yang terlihat tegar daripada yang lain. Tetangga biliknya bunuh diri dengan meminum racun karena tidak kuat menghadapi siksaan dan perilaku keji. Beberapa mencoba melarikan diri tetapi nyawa mereka berakhir di moncong bayonet tentara Nippon.
Sementara pasokan makanan semakin menipis kian hari. Para Ianfu hanya makan sekali sehari, sehingga mereka kerap tidur dan bekerja dalam keadaan lapar.
“Kau berbohong, Fang Hua … Kau bilang kita akan keluar dari tempat ini bersama-sama. Tapi kau ingkar dengan janjimu sendiri. Siapa lagi yang menemaniku? Aku tidak punya siapa-siapa untuk dipercaya,” lirih Ambara sambil memeluk kedua lututnya yang berbalur biru.
Perlahan pertahanan Ambara luruh sepenuhnya. Air mata sebening kristal mengalir tanpa henti di pelupuk mata hingga kedua pipi. Kedua tangan Ambara bergerak liar menyasar setiap barang sekitarnya, melemparkan mereka sembarang dan berteriak tanpa memedulikan pita suaranya akan putus.
"Kazumi,” panggil Haku dari balik pintu. Ambara tak menyahut. Haku tidak kunjung masuk, padahal pintu bilik Ianfu tidak pernah terkunci.
Haku—tentara Nippon yang bajingan itu—mendatangkan seorang petugas dokter laki-laki yang bertugas memeriksa kesehatan reproduksi Ambara dua hari lalu. Petugas keturunan Jepang itu memaksa Ambara melepas semua pakaiannya dan menggerayanginya. Lalu kemaluan Ambara ditekan dengan alat terbuat dari besi panjang yang akan mengembang dan membuka kemaluan lebih lebar untuk memeriksa apakah ia terjangkit menyakit kelamin.
Perlakuan petugas kesehatan itu menyakitkan hati Ambara. Betapa martabatnya direndahkan serendah-rendahnya, padahal dirinya adalah manusia juga.
Haku memutar kenop dan melangkah menuju nakas yang penuh dengan karcis. Para Ianfu diberitahu karcis-karcis itu harus dikumpulkan. Jika jumlahnya banyak dapat ditukarkan dengan uang.
“Aku benci bajingan seperti kau. Enyahlah, berengsek!” teriak Ambara ketika langkah Haku mendekat ke arahnya.
Ambara merasa tertekan dan tidak sanggup menanggung semua derita sendirian. Tidak ada tempat berlindung dan mencari petolongan. Tidak ada yang bersedia mendengarkan keluh-kesahnya.
Di pangkuan Haku terdapat selembar kain bersih, obat merah, dan semangkuk air. Penampilan Haku tidak seperti biasanya, laki-laki berambut kriting itu hanya mengenakan kaus oblong berwarna putih dan celana panjang tentara.
“Aku tak percaya pada kebaikan siapa pun di sini, Haku. Pada akhirnya kau sama seperti bajingan-bajingan itu. Bersikap manis padaku di awal dan menyiksaku karena menolak bersetubuh dengan mereka.” Kedua alis Ambara bertaut marah. Sekujur tubuh Ambara bergetar hebat. Ia tetap mendongak dagu pada Haku walau ia tak mampu menghadang air matanya.
Haku tidak menyahut. Ambara berteriak sekeras yang ia mampu untuk menyalurkan semua beban yang dia tanggung sendirian di pundaknya. Haku membersihkan luka terbuka di paha Ambara bekas sayatan bayonet. Ambara meringis kesakitan.
“Kazumi dijangankan teriak. Aku mengerti kau bicara apa,” jawab Haku. Nada bicaranya tenang dengan bahasa Melayu yang kacau.
“Kau mengerti aku? Baik. Jangan panggil aku Kazumi. Namaku Ambarawa Nareswari. Nama-nama Jepang itu membuatku jijik! Dan aku tidak ingin dianggap sebangsa dengan Nippon bajingan sepertimu!” tandas Ambara.
Kali ini Haku menoleh demi mendengar jawaban tegas dari mulut gadis pribumi itu. Tidak terdengar gentar sama sekali.
“Seperti yang kukatakan tadi, kau tidak perlu berpura-pura baik padaku. Tidak masalah jika kau mengeluarkan sifat aslimu. Kalau kau benaran orang baik, bebaskan para Ianfu di sini! Kautahu Fang Hua? Mayatnya membusuk di belakang rumah bordir. Dia minum racun!"
Haku menyanggupi permintaan Ambara. Ia berkompromi dengan pemilik Ian-Jo bernama Roos untuk membebaskan satu per satu Ianfu. Pembebasan dilakukan diam-diam demi menghindari kecurigaan tentara Nippon.
Menjelang bulan ke enam, Ambara menyadari terdapat perubahan pada perutnya. Melalui pemeriksaan nonmanusiawi, didapatkan hasil bahwa Ambara hamil tiga bulan. Ambara gamang. Petugas kesehatan mendesaknya agar melakukan aborsi. Pilihan itu segera tak diambil Ambara. Risiko kematian terus membayanginya karena aborsi tanpa dilakukan pembiusan dan perut ditekan secara paksa.
Ambara tidak berniat membesarkan anak yang tidak jelas siapa ayahnya. Ia juga tidak dapat menjamin anaknya mempunyai penghidupan yang lebih layak dari keadaan hidup dirinya sekarang.
Pada pertengahan Juli tepat di jam pergantian hari, Ambara diam-diam meninggalkan bilik kamar reyotnya. Kali ini, ia membebaskan dirinya tanpa bantuan Haku maupun Roos. Haku dieksekusi seminggu yang lalu dengan tuduhan pengkhianat karena membebaskan setengah dari Ianfu di Ian-Jo Telawang, Banjarmasin.
Hawa dingin menusuk bagian tubuh Ambara yang tak tertutup kemben. Ambara dengan tenang melangkahkan kakinya keluar dari rumah yang berbulan-bulan mengurung para Ianfu bak neraka bersama wadah berisi kremasi tubuh Haku di pangkuannya.
TAMAT.
Catatan penting
- Jungun Ianfu adalah budak seks selama perang dunia kedua di koloni jepang dan wilayah perang.
- Ianjo (rumah bordil) resmi Ianfu pertama kali didirikan pada tahun 1932 di Shanghai. Pendirian itu dilatarbelakangi oleh merebaknya kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa Perang Jepang-Cina. Perkosaan brutal itu menyebabkan penyakit kelamin merebak di antara tentara-tentara Jepang. Oleh sebab itu muncul gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.
- Wanita yang direkrut menjadi Jugun Ianfu awalnya berasal dari Korea, Taiwan, China, hingga akhirnya meluas ke wilayah Indonesia. Diperkirakan jumlah Jugun Ianfu mencapai 50 hingga 200 ribu orang.
Halo, ini Karina. Terima kasih sudah membaca! Sumber riset cerpen ini berasal dari buku Sejarah Indonesia jilid VI, situs wikipedia.com, dan museumberjalan.id 😊