Cerita ini bersifat personal. Sejujurnya ada perasaan tidak nyaman mengungkapkan bagian hidupku seperti ini, tetapi perasaan bahwa membaginya adalah hal yang bermakna lebih besar.
Jadi, yang ingin kuceritakan adalah tentang menulis. Menulis itu besar pengaruhnya dalam membentuk diriku sekarang.
Bukan, bukan menulis fiksi, tetapi keseharianku.
Tercerai dari mengalami hidup
Aku mulai menulis tentang keseharianku di 2020. Saat itu aku tidak konsisten. Dalam sebulan ceritaku bisa dihitung jari. Ada yang hanya satu cerita, atau tidak sama sekali. Sejak 2021 aku berusaha untuk menulis setiap hari. Di bulan-bulan pertama kadang aku melewatkan beberapa hari tanpa cerita. Menjelang pertengahan tahun intensitasnya jadi sebulan penuh, yang berlangsung sampai sekarang.
Aku tahu, bercerita tentang keseharian, sebuah repetisi, terdengar seperti hal yang remeh dan membosankan. Namun, apa yang kita sadari dalam keseharian kita? Pernahkah kita secara sadar mencoba mengalami hidup? Dan, bagaimana?
Aku sudah pernah tercerai dari mengalami hidup. Maksudnya, aku tidak merasa seperti hidup walaupun aku ada, existing. Melalui menulis, aku berusaha membangun dan mempertahankan kesadaran bahwa aku hidup.
Menceritakan yang sulit diceritakan
Dalam menulis keseharian biasanya aku bercerita secara runut aktivitasku. Selanjutnya, aku menulis hal-hal menyenangkan dan menyedihkan yang kualami di hari itu.
Yang terakhir disebut tidak mudah untuk dilakukan. Berdasarkan pengalamanku, aku cenderung menghindari bercerita tentang perasaan negatif yang sedang kurasakan, seperti marah, kecewa, sedih, dendam, malu, dan sebagainya, dan penyebab aku merasa seperti itu.
Aku menyebutnya A Hard Conversation. Pembicaraan yang sulit untuk dilakukan dengan diri sendiri. Namun, jangan terus-menerus mengelakkan diri dari pembicaraan sulit itu, karena tidak mampu bicara tentang hal-hal yang membuat sakit itu sangat menyiksa.
Tahap pertama adalah aku mengizinkan diriku untuk membicarakannya. Dengan begitu, tahap selanjutnya aku menghadapi perasaanku. Aku membiarkan diriku dikuasai perasaan-perasaan itu seiring menulis. Biasanya aku menangis. Di sini, aku tidak malu untuk mengatakan aku bisa menangis selama satu jam, bahkan lebih lama. Setelah puas menulis dan menangis, aku dapat melepaskan dari perasaan-perasaan itu perlahan. Ibaratnya, beban emosi yang terendap dalam diri dapat secara perlahan berkurang.
Sebagai makhluk sentien, makhluk yang memiliki kapasitas untuk merasa, dan karenanya dapat menderita, kita tidak dapat lepas darinya. Mempunyai perasaan-perasaan negatif semacam itu adalah bagian dari mengalami hidup. Dan saat kita mengizinkan diri untuk merasakannya, atau membicarakannya, itulah saat kita dapat belajar dan bertumbuh.
Suatu usaha agar kaset itu berputar
Aku menulis agar aku bisa mengingat lebih banyak apa yang terjadi di hidupku. Tanpa menulis aku akan melupakan hal-hal baik yang kecil yang sering terselip di ingatanku, cerita-cerita yang remeh tetapi unik dalam keseharianku, perasaan-perasaanku yang terkatakan jujur dan spontan, di momen yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Semua momen dalam hidup berharga dan pantas untuk diingat. Aku membayangkan sebuah momen dalam hidup layaknya jalinan pita kaset, dapat memutar kembali adegan per adegan ketika kita mengenangnya.
Tanpa menulis ... Tak ada yang tersisa untuk disaksikan. Dalam kondisiku sekarang, jika aku menoleh ke belakang, ke pada hari-hari yang telah lewat, hari-hari seperti menyatu, tetapi tidak mewujud apapun. Pita kaset itu tidak berputar.
Aku sedang mengusahakan agar pita kaset itu berputar suatu hari nanti saat aku mengenangnya.
22 Maret 2022