Lima Buku Terbaikku di 2023

Karina
10 min readDec 31, 2023

Ada banyak kebahagiaan yang dipantik oleh buku tahun ini. Di awal tahun aku memborong buku sejarah diskonan dari KPG dan berhasil memboyong satu set bekas (empat buku) seri Perang Dunia yang sangat kusukai yang ditulis oleh P.K. Ojong. Tahun ini pula aku ditawari menjadi pengurus inti komunitas literasi sejarah yang pusat aktivitasnya di media sosial X, Baca Buku Sejarah Bareng.

Dan jangan ditanya lagi ke mana saja aku telah berkelana sepanjang tahun, hanya dari lembaran buku; dari penjara bawah tanah Château d’If di pulau kecil di lepas pantai Marseilles, Prancis, trus melaju di atas jalur kereta api pertama di Hindia Belanda antara Weltevreden sampai Buitenzorg.

Bacaanku di pertengahan 2023

Bergentayangan lagi aku bersama Isah di jalan-jalan kecil meliuk yang bertembok batu tempat tinggal para abdi Keraton Surakarta. Loncat dan capek menyerang saat aku duduk bersama ribuan manusia dengan riuh rendah khas pada kongres kedua Budi Utomo di Yogyakarta. Kemudian aku menikmati dahsyatnya sate kambing Pak Heri di Jalan Sabang dan Asem Lama.

Akhirnya, dapatlah mengaso di rumah Nyai Ontosoroh, termanggu-manggu memandangi lukisan bidadari Annelies, yang dikatakan Minke seperti ini: “Dari latar belakang suram ala Rembrandt muncul wajah bidadariku seperti bulan dari balik mendung”.

Ya, seperti tak cukup, aku terbang ke dalam sebuah apartemen yang dingin dan sunyi di Mahatthan. Malam telah lama turun. Di atas sofa, memandang ke luar kaca, kesepian meremas-remas hatiku dengan hebat.

Dari berlapis-lapis perjalanan tadi, aku menemukan beberapa perjalanan favoritku tahun ini, di mana aku membawa seluruh jiwaku bersamanya.

1. Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer

Memang, rasanya tertinggal membaca Tetralogi Buru di tahun 2023. Hampir setengah abad sejak terbit pertama kali — yang barangkali kini terbatas peredarannya — sebab kala Orde Baru tetralogi itu dilarang terbit dan beredar oleh Soeharto. Orang mengopi lembarannya sembunyi-sembunyi, membacanya dengan kerongkongan tercekik, meresapinya ke dalam kepala yang justru pada masa itu jutaan kepala milik orang dicoba untuk dijampi-jampi dengan doktrin dan kebencian pekat. Kini, penguasa yang takut pada buku itu, yang takut pada kepala yang bekerja, telah terbenam jauh. Namun, terus berkembang biak manusia-manusia yang penuh takut dan terpenjara dalam kepalanya sendiri.

Akhirnya, empat kopi lengkap Tetralogi Buru berada di tanganku, dengan cara yang tak pernah kuduga.

Usai membaca Bumi Manusia yang rasanya menggoncang-ganjing duniaku, buku selanjutnya Anak Semua Bangsa meluluhlantakkan hatiku. Pedih. Geram. Dalam Anak Semua Bangsa, Minke telah ditinggal mati Annelies, sementara itu Maysaroh, Jean Marais, Nyai Ontosoroh, keluarg De La Croix tetap terambang di dunia mereka.

“Tuan tidak kehilangan apa-apa, kecuali kehormatan di hadapanku dan kami. Sebaliknya Tuan mendapatkan segala-galanya dari kehilangan kami,” Nyai menueruskan dan suaranya masih juga menggigil

“Aku tak bisa terima itu. Semua ada aturannya,” bantah tamu itu. Ia tetap berdiri, dan semua penyambut juga masih tetap berdiri.

“Betul,” kata Nyai dalam Melayu, “semua ada aturannya, bagaimana merugikan kami dan menguntungkan Tuan.”

Dalam pikiranku ada perbandingan. Di buku sebelumnya, Bumi Manusia-nya Minke itu sungguh sempit. Minke terisap sepenuhnya, dan di kemudian hari sedalamnya, di dunia pelik bernama Wonokromo. Bumi manusia dan segala persoalannya terhampar dan terlihat padanya baru semenjak itu.

Dunia itu perlahan meluas, sementara Minke sebagai diri pribadi mulai terguncang. Cangkang keras itu didera pengalaman baru dan kepala-kepala dengan pengertian masing-masing, menawarkan berbagai perspektif melihat dunia, sekaligus menantangnya — Kommer, De Crox bersaudara, Nijiman dan juga Surati.

Rasanya hatiku mengeriung: “Ayoh, Minke, dengan kepala itu, dengan titel lulusan HBS itu, kau bisa buat apa untuk dunia Wonokromo-mu, rakyat yang beratus tahun lamanya jalan bongkok-bongkok pada Eropa yang hidup di kelilingmu, dan Hindia Belanda-mu?”

Dan Minke menjawab:

“Dengan mata-batinku aku tebarkan pandang ke kelilingku sendiri. Tak ada suatu gerak sama sekali. Mereka masih nyenyak dalam impian. Dan aku sendiri pusing, geram, dengan kesadaran tanpa daya.”

Anak Semua Bangsa telah membuat hatiku hancur lebur. Banyak kepedihan juga pelajaran pahit dari perjalanan Minke dan Nyai Ontosoroh. Rasanya setelah membaca buku ini, cara pikir dan pandangku terhadap dunia, sedikit berubah.

2. Lebih Putih Dariku, Dido Michielsen

Lebih Putih Dariku berlatar Hindia, akhir abad ke-19, mengisahkan perjalanan seorang perempuan Piranti atau Isah yang dimulai dari masa kecilnya di bilik kediaman abdi Yogyakarta dan jalan-jalan dilapisi tembok keraton, hingga ke halaman rumahnya sebagai Nyai Gey dengan kursi goyang kesayangan dan tanaman-tanaman yang digemburnya sendiri, dan berakhir di jalan-jalan pemukiman kumuh dan pergi duduk ke bangku yang sunyi di Wilhemninapark.

Lebih putih dariku merujuk pada perbedaan kulit orang Eropa dengan pribumi di Hindia Belanda. Perempuan Eropa lebih putih dibandingkan dengan perempuan pribumi yang kecoklatan, tetapi pengertian itu tak hanya sedangkal itu. Perbedaan kulit menentukan perilaku, posisi, dan porsi keadilan yang akan diterima seseorang di Hindia Belanda.

Gundik atau Nyai adalah istilah merendahkan untuk kaum perempuan pribumi di masa kolonial, yang berarti perempuan piaraan laki-laki keturunan Eropa di luar nikah maupun dengan status menikah, tetapi tidak diakui secara hukum, bahkan jika telah melahirkan anak dari laki-laki tersebut.

Gundik atau Nyai menjadi pelayan seksual, mengandung anak berkulit gading yang disebut sebagai keturunan Indo, melayani laki-lakinya, mengurusi urusan rumah tangga, serta mengawasi para pembantu (babu) dalam bekerja.

Pergundikan sudah ada sejak pedagangan mulai marak di Nusantara, namun semakin bertambah jumlahnya bebuntut kebijakan VOC pada tahun 1652 membatasi imigrasi perempuan Belanda — yang standar kehidupan Eropanya memakan banyak biaya — dan menutut berbagai persyaratan rumit kepada perkawinan resmi antara laki-laki Belanda dan perempuan Jawa. Sebagai tambahan, kebanyakan pihak laki-laki Eropa memiliki posisi sosial-ekonomi yang lebih tinggi ketimbang pihak perempuan.

Sikap umum orang Jawa pada awal abad ke-20 memperlihatkan pandangan priyayi yang merendahkan gundik pribumi dan anak-anak mereka yang berdarah campuran itu. Mereka merupakan perempuan yang “rendah dan kotor”, para perempuan tak tahu malu, yang telah menentang aturan kesopanan Jawa dan “tanpa budaya sekedar digerakkan oleh nafsu birahi”. Para perempuan ini dicap tidak memiliki moral yang kuat, menjual kehormatan mereka demi kehidupan yang mewah, dan menciptakan “keluarga pelacur yang ditakdirkan akan tenggelam dalam kesia-siaan”, tanpa meninggalkan jejak dalam catatan resmi sejarah peradaban Jawa.

(Hera & Wijaya)

Setelah membaca perjalanan Isah, hatiku rasanya seperti diremas sampai lebur. Berapa banyak perempuan yang nasibnya seperti Isah? Mungkin hanya dilihat sebagai statistik yang mengibakan tetapi tidak menyenangkan bagi kolonial Belanda. Perempuan pribumi dianggap sebagai “penyaring bencana yang tak siap mereka hadapi”, sebagai sebuah perabot mati. Pergundikan atau pernyaian di Hindia Belanda adalah wujud nafsu terjelek umat manusia: perasaan berkuasa daripada yang lain.

Gaya bercerita novel ini terasa seperti Isah yang bicara langsung ke dalam hatiku. Isah bicara tentang anak-anak perempuannya, Pauline dan Loisa, yang lebih putih kulitnya, kerinduannya akan sosok Ibu yang membatik buatnya di depan rumah bertembok kuning mereka, kesepiannya ketika kakinya melangkah jauh dari tembok keraton atau melihat anak-anaknya tumbuh merasakan dirinya hanyalah sebagai jongos, babu pribumi. Walaupun begitu, Pauline dan Louisa selalu miliknya, betapapun hidup menyarak jarak mereka, betapapun yang kolonial mendustakan faktanya, betapapun Isah tak pernah melihat mereka lagi selama sisa hidupnya setelah mereka berpisah, sampai ia meninggal pada tahun 1917.

“Memandangi sekelilingku, aku merasa benar-benar bahagia … semua itu adalah buah tanganku, tanaman-tanamanku dan perabotanku yang sudah menciptakan oase buat anak-anak perempuanku. Ini adalah rumah mereka …”

3. Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi

Di halaman depan buku ini kutulis dua kutipan dari Semaoen dan Haji Misbach yang bunyinya sebagai berikut:

“Kita tak perlu tunggu supaya semua orang mengerti. Akan tetapi, kitalah (yang) akan mengertikan dengan berjalan.”

“Karena tuan-tuan pembaca toh mengerti, bahwa nasib kita Bumi Putra memang diposter menganan dan kiri oleh orang-orang yang punya kekuatan supaya kita mudah diisapnya.”

Takashi membawa topik yang sebelumnya gak kuperhatikan, yaitu awal pergerakan di Indonesia, khusunya Surakarta, Semarang dan Yogyakarta sebagai fokus arena. Dari awal pergerakan rakyat hingga perempat abad ke-20.

Kali pertama aku baca buku Takashi dan ini jadi nonfiksi sejarah favoritku tahun ini. Storytelling flow dan buku ini sangat enak diikutin. Favorit sejak bab pertama yang bawa aku jalan-jalan ke Vorstenlanden, yaitu wilayah-wilayah kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta. Takashi mmebahas Javanologi Belanda, sistem lungguh dan pengusaha perkebunan Eropa yang akhirnya ikut nyelip ke dalamnya, reorganisasi sistem lungguh di Vorstenlanden dan menilik ramainya usaha batik di Surakata pada awal abad ke-20.

Awal abad ke-20. Suatu masa yang dicanangkan sebagai “zaman modern”, “zaman kemajuan”. Di Hindia, zaman baru dalam politik kolonial dimulai, Zaman Etis. Dunia dan zaman kini sedang bergerak. Zaman ekspansi, efesiensi, dan kesejahteraan. Dari Sabang sampai Merauke, Negara Hindia, telah dibayangi kontrol kolonial.

Dan Perang Dunia ke I mempersulit komunikasi antara negara induk dengan Hindia sehingga memaksa pemerintah Hindia untuk menjalankan negara dan ekonomi secara lebih mandiri, buntutnya adalah baik negara induk maupun jajahan (Hindia Belanda) tidak dapat menghindar dari zaman bergerak dan bahwa sosialisme dan demokrasi menjadi kekuatan yang nyata setelah perang. Surat kabar, karya sastra perkumpulan, rapat-rapat umum, demonstrasi, pemogokan, serikat, partai, ideologi dan organisasi. Kesadaran baru dan bahasa baru yang digunakan menjadi arti penting utama dari pegerakan awal rakyat di Indonesia.

Tjipto Mangunkusumo, Haji Samanhudi, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco Kartodikromo, E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Semaoen, Sneevliet, Darsono, Alimin, adalah beberapa nama yang akan sering banyak muncul.

Boedi Oetomo (BO), Sarekat Dagang Islam (SDI), Sarekat Islam Surakarta, Sarekat Abangan, Insulinde, ISDV (Indische Sociaal-Democraticshe Vereeniging), ISDP (Indische Sociaal-Democraticsche Partij), Partai Komunis Indonesia (PKI), Centraal Sarekat Islam (CSI), Partai Sarekat Islam (PSI), VSTP (Vereeniging voor Spoor en Tramwegpersoneel) dan Sarekat Ra’jat (SR) adalah beberapa nama organisasi yang muncul di zaman bergerak, zaman vergadering-vergadering, pemogokan, ideologi Sosialisme dan Komunisme dan ideologi yang mendorong terwujudnya politik kaum pribumi. Cerita tentang muncul dan jatuhnya perhimpunan, organisasi politik yang menjadi cikal bakal nasionalisme indonesia ini diceritakan sangat memukau oleh Takashi.

Membaca buku ini rasanya seperti terlempar ke dunia yang sesak dan ribut. Orang-orang pada berbondong menuju gedung vergadering, di jalanan tak hanya para bangsawan yang bicara tentang Hindia, pribumi biasa pun boleh buat lewat bergabung ke pertemuan-pertemuan dan pembicaraan mengenai isi surat kabar Melayu hari ini, para pengurus kring-kring (cabang pembantu organisasi) hilir mudik bicara pada petani desa yang selanjutnya diorganisasi menjadi anggota dan dapat bergabung ke dalam pertemuan …. Zaman bergerak. Hindia bergerak.

Seperti ujar Mas Marco pada suatu vergadering di bulan Juli 1915:

“Saya berani bilang, selama kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus terinjak-injak dan hanya menjadi seperempat manusia.”

4. Namaku Alam, Leila Chudori

Membaca novel ini di tengah keseharian yang sesak … rasanya adalah suatu bencana besar. Memporak-porandakan hati, pikiran, dan mental. September Hitam adalah titik awal aku membolak-balikkan halamannya, hingga berhenti di halaman 21 — setelah membaca bagian bahwa Alam mempunyai photographic memory — dengan perasaan kalut dan dada yang terasa telah berlubang besar:

“Itulah kali pertama aku berkenalan dengan kelam.”

Namaku Alam adalah spin off dari Pulang. Latar novel ini bermula di tahun 1965 sampai Alam berusia 33 tahun. Sesuai judulnya, sudut pandang penceritaan dimiliki oleh Alam, anak bungsu dari Hananto Prawiro dan Surti Anandari.

Alam lahir dalam prahara tahun 1965. Di zaman itu ayahnya menjabat sebagai wartawan, tepatnya pemimpin redaksi Berita Nusantara, dan seniman “kiri”.

Ketika tragedi G30S meletus, terjadi pembantaian massal atas seluruh partai, keluarga, kawan, dan simpatisan kiri. Begitu pula dengan Hananto. Selama tiga tahun ia hidup dalam pelarian, diburu oleh aparat Orde Baru. Rumah mereka tiap pekan disantroni dan diobrak-abrik aparat yang menanyakan lokasi Hananto. Pelarian itu berakhir kala ia ditemukan dan akhirnya ditembak mati pada 1970. Hananto meninggalkan istrinya, Surti, dan ketiga anak yang belum cukup dewasa: Kenanga, Bulan, dan Alam, dalam keadaan penuh trauma atas pengalaman menyakitkan dan paling buruk yang terus terjadi bahkan setelah mereka dewasa.

Keluarga Hananto yang tersisa harus tetap bertahan hidup merunduk, hampir tak terlihat. Keluarga mereka dicap sebagai E.T. atau eks tahanan. Seperti kata Kenanga, mereka sebagai keluarga tapol yang dieksekusi mati harus mampu hidup seperti meniti buih karena kapan saja mereka bisa memutuskan untuk menyelesaikan hidup mereka.

Pertemuan Alam dengan guru sejarah SMA Putra Nusa, Ibu Uma, menyadarkannya bahwa ia harus menjadi pencatat sejarah yang ia alami sendiri. Dan Alam akhirnya memulai jurnal harian dan bergabung dengan kelompok Para Pecatat Sejarah di sekolahnya. Ibu Uma berkata,

“Jika kalian ingin memahami sejarah dengan gairah, kalian harus memulai dengan sejarah dirimu.”

Perkataan Ibu Uma juga menyadarkanku bahwa akupun juga harus menulis sejarah diriku sendiri, dan tulisan ini adalah salah satu usahaku. Rasanya, novel ini memperlihatkanku seperti apa menderitanya bertahan hidup penuh ketakutan dan kepahitan sebagai keluarga tapol yang dieksekusi mati dalam zaman di mana gejolak dan darah saling berdampingan. Dekade demi dekade telah berlalu, tetapi luka jiwa tak akan pernah usai dan menutup.

Aku menuliskan ini di salah satu halaman di novel Namaku Alam:

“Segara Alam, kelam telah menyelubungi napas dan ragamu sejak kamu sangat kecil. Apakah hayatmu adalah kelam, ataukah kelam adalah hayatmu?”

5. Misteri Sebutir Safir, S. Mara Gd

Bertemu lagi dengan bacaan favoritku sewaktu SMP sungguh membahagiakan. Telah kubaca beberapa judul misteri pembunuhan apik yang khas waktu itu, dan di penghujung tahun ini aku bertemu lagi dengan rak berjejer novel S. Mara Gd.. Nostalgianya!

Sebab terpikat dengan lukisan sampulnya — wajah cantik Anisa yang dipoles ala era Barok, wajah jelita namun misterius, rambut sebahu legam, figur wajah yang tajam dan serantai kalung safir hijau di lehernya, dengan latar hitam yang dramatis — dan judul yang mungkin kontras dengan kesan di dari yang melihatnya, sebutir safir “mungil” sebagai latar belakang suatu pembunuhan keji yang sistematis!

Misteri Sebutir Safir berkisah tentang pembunuhan seorang pria tua kaya bernama Denaek Banda. Ia berusia 62 tahun. Hidupnya dikelilingi anak-anak haus hartanya. Dan hatinya yang terkoyak rasa sepi dan haus akan kasih sayang sebab ditinggal mati istrinya

Semua kecurigaan terarah kepada Anisa Banda, istri muda barunya yang sebelumnya bekerja di toko arloji langganan Denaek. Keluarga besar Denaek Banda — anak-anak yang iri hati dan angkuh — menuduh Anisa sebab Anisa berlatar belakang miskin, berpendidikan rendah dan fakta bahwa kejadian pembunuhan itu hanya beberapa bulan setelah pernikahannya.

Novel ini menyajikan konflik keluarga dengan alur yang sungguh menantang, bikin gemas! Dan konflik percintaan yang mencampuradukkan emosiku, membikin lemah hatiku.

S. Mara Gd menampilkan kehidupan rumah tangga keluarga Banda yang kiranya berlimpah harta, tak kurang suatu apa, ternyata di balik bilik-biliknya mengintai mata-mata penuh dengki, serakah, dendam, benci, keinginan untuk diakui, untuk dicintai … segala yang membikin manusia dapat memangsa sesamanya.

Highlight berikutnya dari novel ini adalah kekuatan, kegigihan seorang perempuan itu tersembunyi sekali. Perempuan menerkam mangsanya dalam diam, dengan wajah polos dan bodoh.

Terakhir, rasanya kisah percintaan Anisa dengan Alfian Banda yang membara-bara itu meluluhlantakkan hatiku. Kiranya aku mau dicintai sekeras kepala sekaligus selembut yang dilakukan Alfian Banda kepada Anisa dan sebaliknya; tak menyerah dengan satu sama lain sepanjang badai terhebat mereka.

--

--