Makan Nasi dari Hasil Daki: Mama dan Aku, Anak Perempuan Bungsu

Karina
6 min readAug 11, 2023

--

Mama di tahun 1977 (bawah) dan di tahun 1984 (atas), potret saat Mama berusia 20 tahun sepertiku.

Beberapa waktu lalu aku bersama sahabat perempuanku duduk di taman kota di sore hari. Sejak berhenti dari pekerjaanku dua minggu lalu kami bisa menghabiskan waktu bersama, pergi ke tempat-tempat yang kami sukai. Aku memandangi sela-sela pepohonan yang dipancari sinar matahari, rerumputan hijau, dan angin sejuk membuatku merasa tenang. Kemudian kepalaku terbesit satu pertanyaan dan aku berpaling wajah pada sahabatku,

"What matters in life?"

Sahabatku terhenyak, sementara itu pandanganku meloncat ke mana-mana; ke rerumputan hijau yang kupijak, danau di seberang mata, orang-orang pada duduk melingkar dengan kelompoknya, penjual minuman es dan es krim, anak-anak juga beberapa pengendara Gojek. Banyak kehidupan di sekeliling kami. Pikirku, pasti mereka punya jawaban masing-masing. Usai jeda panjang sahabatku menyahut, ia menyebutkan banyak hal, salah satunya adalah orang-orang terdekat dan tersayangnya, yaitu keluarga intinya.

Lalu, kami berdua mulai ngobrol tentang Mama, sosok yang sama-sama terdekat dalam hidup kami. Obrolan mengalir perlahan kemudian tersendat. Tiba-tiba aku merasa ada cengkeraman di hatiku dan tenggorokkanku seperti tercekik. Kami baru sebentar ngobrol bagaimana kami merasa dan melihat Mama masing-masing dan sudah mau menangis. Itulah yang terjadi pada kami, di sore hari yang teduh di taman kota.

Aku mengerti mengapa. Makin bertambah usia aku mengerti bahwa manusia butuh perasaan belonging, perasaan memiliki dan dimiliki oleh sesuatu. Menurutku, perasaan belonging punya tiga sifat atau peran: asal usul (tambatan), posisi (signifikansi) dan tujuan hidup (arah). Hal-hal di atas membentuk siapa kita, bagaimana kita menjalani hidup, dan apa yang kita anggap penting dan berharga. Kita membutuhkan semua itu. Keluarga memenuhi kebutuhan kita akan belonging dan turunannya.

Tulisan ini aku dedikasikan untuk Mama, begitu aku memanggilnya sejak kecil. Mama yang mengandung, melahirkan, membesarkan, menafkahiku secara materi dan batin sepanjang pertumbuhanku hingga hari ini. Aku baru menyadari aku jarang menulis tentang Mama. Jadi, begitu banyak hal tak terkatakan yang ingin aku tumpahkan. Tapi, tulisan kali ini aku membatasinya dengan perspektifku sebagai anak perempuan bungsu Mama di rumah. Pikiran ini terpantik karena obrolanku dengan sahabat perempuanku.

Mama lahir pada Agustus 1964 dengan nama Nurhayati. Nama yang cantik, nur artinya cahaya dan hayati artinya hidup. Mamaku yang cantik, cahaya yang hidup. Mama lahir menjelang prahara mengerikan di Indonesia dan merasakan hidup dalam masa awal, jaya, dan runtuhnya Orde Baru. Mama tak banyak cerita tentang Orde Baru, kecuali bagaimana di zaman itu Mama berserta delapan saudara harus membagikan nasi dan lauk dalam potongan kecil saat makan bersama dan Mama banyak bekerja untuk membantu dan menghidupi keluarganya; mengupas udang, berjualan di sekolahnya dan di pasar, menjahit pakaian, menjadi pembantu cuci di rumah orang lain. Seumur hidupnya Mama tak pernah tinggal bergantung ataupun merepotkan orang tua dan saudaranya.

Mama selalu membanggakan betapa Mama mudah dicintai dan dikagumi. Aku tahu sebabnya, paras Mama cantik sekali di masa mudanya dengan wajah tegas sekaligus lembut dan rambut bergelombang lebih sebahu. Lalu, kepribadian dan sifatnya agaknya menyentuh hati orang banyak. Mama punya banyak cerita menggebu-gebu tentang belasan kekasihnya dan petualangannya berpacaran tak ada lawan, bahkan anak-anaknya tak bisa dikatakan punya pengalaman tandingan. Kasihan kami ....

Mama menikah pada usia 19 tahun dan sejak saat itu hidup Mama berubah. Setelah menikah Mama tetap bekerja bahkan lebih keras lagi.

Setelah mencoba banyak pekerjaan, Mama punya pekerjaan tetap yang menghidupiku dan kakak-kakakku hingga dua dekade kemudian. Kami bisa tumbuh, bersekolah, makan dengan layak, tidur tanpa rasa lapar dan takut. Semua berkat dua tangan Mama yang kuat sekaligus lembut, melakukan pekerjaan yang Mama sebut sebagai

“dari hasil daki bisa memakan nasi".

Ya, daki sebagai kotoran kulit manusia. Mama bergelut dengan bubuk lulur badan dan akar rempah serta uap timung dan daki para pelanggan, kebanyakan perempuan, yang datang ke rumah kami. Rasanya, aku masih bisa mendengar celoteh pelanggan perempuan yang ribut selagi tubuh mereka dibalur dengan lulur putih dan kuning dengan campuran susu, wangi tetimungan yang semerbak dalam kamar kami sebagai tempat bekerja, dan Mama yang berjalan ke sana-kemari menyiapkan segala sesuatu.

Ketika kecil aku tak suka lepas dari Mama, karena itu aku menggiringi Mama siapapun pelanggannya dan di mana pun Mama melaju dengan motornya, di belakangnya aku berpeluk pinggang. Waktu itu aku tak mengerti betapa perihnya dan beratnya beban dari perkataan Mama:

"Ingat, Mama bekerja keras sendiri mencari rezeki untuk kamu, kakak-kakakmu lewat daki orang lain. Jadi, bersyukur atas tiap rezeki yang Allah beri pada kita, atas tiap butir nasi di piring kita setiap hari".

Sekarang aku baru mengerti maksud Mama. Allah telah memberi masing-masing dari kita porsi rezeki yang cukup dan jangan merasa berputus asa dengan pekerjaan kita selama kita dapat makan dari hasil yang halal.

Sebagai anak perempuan bungsu aku merasa aman berada di dekat Mama dibanding ketiga kakakku, karena mereka kira bungsu adalah kata lain dari tahta mutlak anak emas. Inilah perempuan yang menyusuiku, membesarkanku, menggendongku ke mana-mana sementara ia harus bekerja dan mengurus rumah tangga dan kakak-kakakku yang rewel, mengajakku melihat cara khasnya melulur (membalur lulur) dan menimung (melakukan proses timung uap), memberiku makan, menyekolahkanku, mengajarkanku banyak hal hingga aku tumbuh seperti sekarang. Tapi, telingaku tak pernah mendengar keluhan atau tangisan Mama. Mama selalu melakukannya diam-diam di kamar saat kami tak memperhatikan. Aku, anak perempuan bungsu, tak mengerti bagaimana cara menguatkan Mama. Berpaling pada Abah, sebutan untuk Ayahku di rumah, beliau pun tak melakukan apa-apa. Rumah tempatku dan kakak-kakakku lahir dan tumbuh adalah rumah yang sepenuhnya dipertahankan oleh Mama, perempuan kuat yang berdiri di atas kakinya sendiri.

"Perempuan harus bisa bertahan dengan dirinya sendiri"

adalah pelajaran dari kerja keras Mama dan rumah kami yang timpang karena nafkah nol dari Abah di masa bertumbuh yang menggerakkan hatiku sekaligus mengarahkanku menjadi sosok perempuan kini. Aku mengerti mengapa bekerja setelah lulus sekolah layaknya jalan utama yang harus ditempuh dalam hidup kami saat mulai dewasa, sebab bekerja berarti dapat bertahan hidup dan punya harapan-harapan. Adakah satu harapan yang selalu dikatakan Mama pada kami? Ada, yaitu: "Kalian semua harus 'jadi orang’". Tak perlu banyak penjelasan, jadi orang maksudnya adalah punya kehidupan nyaman dan mapan seperti orang lain ....

Begitulah, sebagai perempuan dewasa, aku makin bisa melihat dan mengerti Mama dari sisi sesama perempuan. Sangat sulit dan melelahkan melakukan segalanya sendirian; perempuan yang menjadi seorang Ibu bagi keempat anaknya, pengurus rumah tangga, pekerja tanpa jam kerja. Bagaimanakah Mama menanggung dan menjalankan semuanya? Kekuatan seperti apa yang menggerakkannya untuk tetap berjuang? Mama menjawab suatu hari, bahwa kekuatannya adalah kehidupan anak-anaknya di masa kini dan yang akan datang. Tak ada dusta dalam lagu "Kasih Ibu" yang selalu kuperdengarkan saat kecil, bahwa "kasih Ibu tak terhingga sepanjang masa". Bagi Mama, hidup tak hanya tentang masanya, melainkan juga masa-masa kami.

Di masa tua Mama, yang baru saja menginjak usia 59 tahun, aku si anak perempuan bungsu mengambil peran Mama, yang tak sesempurna yang dilakukannya untuk anak-anaknya. Perempuan bungsu yang telah diajarnya sebaik-baiknya. Masa menyaksikan Mama berpergian ke sana-ke mari dan mengerjakan segalanya dengan cepat telah berlalu. Mama kehilangan banyak kekuatannya terutama untuk berjalan karena riwayat penyakitnya. Sekarang Mama menghabiskan banyak waktu duduk di sofanya, di rumahnya yang nyaman. Mama suka melihat pemandangan dari jendela dan pintu terbuka dan sesekali berjalan ke halaman dan rumah-rumah tetangga dengan langkah pelan tertatih. Tak adil, di usiaku sekarang aku dapat melihat sekeliling dan seisi dunia, mengapa Mama hanya bisa melihat sedikitnya? Aku ingin Mama bisa mengetahui hal yang telah kuketahui, keindahan dan hal-hal baru dunia yang dirasakannya meninggalkannya.

Setelah berhenti bekerja aku mempelajari banyak hal tentang Mama, salah satunya kebiasaannya yang rapi dan teliti mengurus rumah. Kemudian, bisa menemani Mama lebih panjang daripada saat aku bekerja dan pulang di malam hari. Yang kata Mama, "Bagus Karina bisa menemani Mama sekarang." Karena dulu Mama selalu menunggu anak perempuan bungsunya pulang dan menyiapkan makanan malam dalam diam, berkawan televisi rumah kami.

Aku jadi memperhatikan Mama merenung lama dengan tatapan yang membuat hatiku diremas. Mamaku merasa kesepian, aku tangkap suatu kali. Dan makin sering. Aku bersyukur aku sudah bertumbuh lebih baik daripada masa remajaku yang tak terlalu dekat dan baik dengan Mama. Sekarang aku bisa mengganti sunyi dengan percakapan ringan tentang hariku, hal-hal yang kusaksikan, kudengar, dan kupelajari. Membagikan pengetahuan aneh-anehku dengan Mama, aku menyebutnya sendiri. Lalu, Mama akan merespons dengan suara terkejutnya yang khas.

Anak perempuan bungsu ini merasa malu sekali dengan hubungannya dengan Mama di masa lalu, terlalu banyak melakukan hal yang menghancurkan hati Mama. Dan ia baru belajar cara membangunnya kembali perlahan-lahan, dengan pertanyaan menggenang di kepala, “Mengapa perlu 20 tahun untukku agar bisa melakukan semua ini?” seraya berpacu dengan masa Mama yang terlampau jauh darinya. Terpaut perbedaan setengah abad usia. Ia merasa sudah bisa mengucap jawab dari pertanyannya sendiri "what matters in life?", yaitu menyayangi Mama yang telah menyayangi anak perempuan bungsunya sejak lahir. Memberi kembali rasa aman, tidur tanpa rasa lapar dan takut, dan bertumbuh tanpa banyak kekhawatiran.

Selamat ulang tahun ke-59, Mama. Tak mungkin seribu maafku akan menyembuhkan banyak luka Mama. Maka, terima kasih telah melahirkanku ke dunia dan membesarkanku dengan baik. Aku ingin lebih banyak hidup menciptakan momen-momen kecil sederhana pemantik kebahagiaan yang sekarang sangat kuhargai. Mamaku yang cantik adalah anugerah dalam hidupku, pemberi kasih sayang yang tak pernah pamrih, dan pelita bagi jalan-jalan gelap kehidupanku.

Karina

Bulan kelahiran Mama, Agustus 2023

--

--

Karina
Karina

Written by Karina

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Responses (1)