Satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan ambisinya mengejar pembangunan ekonomi melalui Proyek Stategis Nasional (PSN) yang dimulai sejak 2016 telah meninggalkan banyak kehancuran lanskap alam Indonesia.
Tengok saja Megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menghancurkan kualitas tanah, air dan udara Kalimantan. Sebagaimana yang kita tahu, Kalimantan merupakan paru-paru dunia. IKN berdiri di atas 256 ribu hektare hutan dengan 43% kawsan saja yang berhutan. Artinya, terjadi deforestasi yang cukup besar yakni 57% kawasan (Ekaptiningrum, 2023). Ironisnya, wajah pembangunan IKN kontradiktif dengan konsep Forest City yang diidamkan Jokowi.
Berbagai malapetaka telah ditimbulkan total 218 proyek yang terdiri dari 208 proyek dan 10 program PSN dengan estimasi total nilai investasi mencapai Rp5,481,4 triliun rupiah yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku serta Papua. Tanpa henti media massa dan masyarakat bersuara lantang mengenai konflik agraria, eksploitasi, deforestasi, bencana iklim ekstrem sampai kriminalisasi masyarakat lokal yang terdampak pembangunan PSN.
PSN digadang-gadang sebagai simbol kebesaran dan kedaulatan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, realitas berkata lain. Jadi, sebenarnya PSN dipersembahkan untuk kebaikan siapa?
Gilas Mulus ala Developmentalisme Orde Baru
Sampai akhir masa jabatannya, Jokowi tutup telinga dan mata. Ia menggunakan kekuasaannya untuk mencetak regulasi penuh cacat demi mempercepat pembangunan proyek strategis.
Tanpa pakai logika dan nurani, regulasi cacat itu Jokowi ramu dalam berbagai muslihat canggih. Misalnya, Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dalam Pasal 162 mengatur ancaman pidana bagi warga yang dianggap merintangi aktivitas pertambangan.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Pemulihan Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Pasal 23 berbunyi pemerintah mengatur pengurangan luas izin kehutanan jika tumpang tindih dengan izin perkebunan yang berstatus strategis. Padahal, jika kita memakai akal sehat, seharusnya hutan dipulihkan dan bukannya dikurangi (Maqoma, R. I., 2021).
Tak kalah parah, PP No. 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan dalam Pasal 84 memperbolehkan pelepasan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi untuk PSN dan PP No. 43 Tahun 2021 Tentang Tata Ruang pasal 10 memperbolehkan PSN diteruskan meski ada ketidaksesuaian tata ruang (Maqoma, R. I., 2021).
Inilah bentuk New Developmentalism ala Jokowi yang mengadopsi pola-pola developmentalisme ala Soeharto. Warburton menyebutnya sebagai “kembalinya nuansa masa lampau dalam pola developmentalis” (an echo of the past). Developmentalisme Jokowi bersifat pragmatis dan berorientasi pada pertumbuhan dalam kebijakannya, statist-nasionalis dalam posisi ideologisnya, konservatif dalam pendekatannya terhadap masalah transparansi dan pemerintahan serta hak asasi manusia dan keadilan (Abisono, 2024). Dengan kekuasannya, Jokowi tengah bermain bencana kehancuran lingkungan besar-besaran.
Omon-Omon Pembangunan Berkelanjutan
Kilas balik sedekade lalu, sejarah mencatat komitmen 193 negara di dunia, termasuk Indonesia, terhadap Agenda Pembangunan Global Pasca 2015. Nama komitmen itu adalah Sustainablity Development Goals (SDGs) (2015–2030) yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) (2000–2015).
Singkatnya, SDGs adalah komitmen pembangunan bersama yang jauh lebih komprehensif dan ambisius dibandingkan dengan MDGs. Penekanannya bukan hanya hasil dari pembangunan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan, tetapi juga pada aspek keadilan dan inklusivitas serta cara dalam pencapaian tujuan. SDGs menekankan pemenuhan Hak Asasi Manusia, non-diskriminasi, perhatian terhadap kaum marjinal dan difabel, pentingnya partisipasi dan kolaborasi semua pemangku kepentingan pembangunan: pemerintah, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat (Alisjahbana & Murniningtyas, 2018).
Keberhasilan pencapaian MDGs di Indonesia adalah 71% atau 51 dari 72 indikator yang tercapai. Belum selesai pekerjaan rumah MDGs, Indonesia menghadapi dilema merumuskan kebijakan yang dapat menjaga pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial, namun tetap menekan laju kerusakan lingkungan dan degradasi ekosistem. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan menekankan memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan yang akan datang.
Konsep mengenai pembangunan berkelanjutan hanyalah omon-omon yang tak sanggup direalisasikan Jokowi. PSN sesungguhnya berkiblat pada ekonomi ekstraktif yang menyebabkan krisis iklim akibat tingginya lepasan emisi ke atmosfer, konflik sosial, perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat, serta menyempitnya ruang demokrasi dengan tingginya kriminalisasi terhadap rakyat yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Pengembangan PSN di Maluku Utara, khususnya hilirisasi nikel, telah terbukti memporak-porandakan pulau-pulau kecil. Masyarakat yang hidup di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, khususnya di Desa Kawasi, wilayah pesisir dan lautnya telah mengalami pencemaran berat akibat aktivitas pertambangan sehingga potensi perikanan tangkap menurun sangat drastis (Walhi, 2023).
Berpindah ke Jawa, titik berat PSN, Proyek Pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak di Jawa Tengah terbukti menghancurkan kawasan mangrove dan mempercepat tenggelamnya desa-desa pesisir di Pantai Utara Jawa Tengah. Padahal, mangrove selalu dijadikan alat diplomasi iklim dalam setiap forum internasional oleh Presiden Jokowi (Walhi, 2023).
Konversi hutan untuk sawit di Sulawesi yang mengancam kawasan ekosistem Wallace yang kaya akan keanekaragaman hayati endemik bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon. Hutan yang menyerap karbon dioksida pada akhirnya membatasi kemampuan alam untuk mengurangi emisi di atmosfer.
Jokowi telah gagal total menyelaraskan pembangunan berkelanjutan dengan mitigasi perubahan iklim. Dalam skenario pengkhianatan tujuan SDGs ini, ujung-ujungnya, masyarakat yang paling terdampak dan menderita.
Jalan Panjang Transisi Ekonomi Ekstraktif ke Ekonomi Regeneratif
Tak dimungkiri telah terjadi percepatan ekonomi Indonesia melalui proyek-proyek besar seperti infrastruktur, industrialisasi, investasi modal.
Namun, perencanaan dan implementasi PSN begitu sentralistis, proses seperti negosiasi, sosialisasi untuk menyakinkan publik dilewati, partisipasi masyarakat tak dianggap relevan, berujung kerugian masyarakat yang tak terhingga. PSN juga begitu ekstraktif dan tertutup, sarat akan kepentingan komersial. Pemain rakus bernama mitra bisnis, investor, pejabat berkepentingan, digandeng Jokowi dalam PSN telah bermain pintar untuk membabat habis alam dan kehidupan masyarakat.
Pemimpin Indonesia setelah Jokowi, Prabowo Subianto, harus mendefinisikan dan memastikan pembangunan tak hanya berorientasi pada percepatan ekonomi semata, tetapi juga keberlanjutan lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan kesejahteraan generasi kini dan nanti. Prabowo Subianto harus mewujudkan perbahan signifikan ekonomi Indonesia dari corak ekstraktif menuju ekonomi generatif, sebagaimana yang dituangkan Walhi dalam Ekonomi Nusantara.
Menurut Walhi, Praktik Ekonomi Nusantara memiliki empat nilai pengikat: (1) hubungan sejarah; (2) hubungan dengan lanskap ekologis; (3) praktik ekonomi yang tidak destruktif; dan (4) memiliki dimensi pemulihan kondisi sosial-ekologis. Semangat swakelola, berelasi baik dengan alam, komunalisme, dan praktik skala kecil adalah kekuatan utama ekonomi di masyarakat.
Praktik ekonomi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal ini sesungguhnya begitu berbeda dari praktik ekonomi ekstraktif yang selama ini berjalan. Pemilihan pada ekonomi ekstraktif di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, hanya akan berakhir pada perluasan krisis sosial-ekologis dan peningkatan kerentanan menghadapi krisis iklim.
Saya terngiang ucapan Nyai Ontosoroh dalam Anak Semua Bangsa, bagian dari Tetralogi Buru yang ditulis Pramoedya Ananta Toer berpuluh tahun silam. Barangkali, jika Nyai Ontosoroh dapat hidup dan melihat Indonesia kini, ia akan berkata sambil menunjuk semua jenis penguasa dalam seragam mereka:
“Betul, semua ada aturannya: bagaimana merugikan kami dan menguntungkan Tuan.”
Referensi
Abisono, F. G. (2024). Di Bawah Bayang-Bayang Perubahan Iklim: Transformasi Negara Pembangunan dan Agenda Transisi Energi di Indonesia. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 15(1), 95–118. https://doi.org/10.14710/politika.15.1.2024.95-118
Alisjahbana, A. Salsiah., & Murniningtyas, Endah. (2018). Tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia : konsep, target, dan strategi implementasi. Unpad Press.
Corak ekonomi ekstraktif masih jadi pilihan, kerusakan lingkungan dan krisis iklim semakin mengkhawatirkan. (2023, December 25). WALHI. http://www.walhi.or.id/corak-ekonomi-ekstraktif-masih-jadi-pilihan-kerusakan- lingkungan-dan-krisis-iklim-semakin-mengkhawatirkan
Maqoma, R. I. (2021, September 2). Kala hutan ‘dipaksa mengalah’ demi proyek strategis nasional. The Conversation. http://theconversation.com/kala-hutan- dipaksa-mengalah-demi-proyek-strategis-nasional-167071
Kurnia Ekaptiningrum. (2023, May 23). Ikn merusak paru-paru dunia? Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/23763-ikn-merusak-paru-paru-dunia/