Malam itu dari ranjang empuk aku memandangi deretan potret lawas yang tergantung di dinding kamar Nini. Tatapanku jatuh pada lembar seorang gadis kecil dengan senyum sumringah di balutan pelukan yang sensasinya tak pernah beranjak dari kulit, seolah memori itu terbalur baik di tiap incinya. Dan kendatipun warna lembar itu beranjak memudar, mulutku dapat dengan lincah menceritakan kembali cantiknya pakaian yang dikenakan Nini, cerah dan langkar[1]-nya para perempuan yang duduk mengaso di pelataran sehabis bergulat dengan uap wangi, dan pekatnya semburat koral bunga kertas yang rimbun di depan sebuah rumah bernama Rumah Timung.
Dua dasawarsa lalu aku sudah mampu menyebutkan berbagai jenis bahan timung yang bersembunyi dalam gentong liat yang berjejer apik, sementara barangkali anak seusiaku baru belajar mengenali sebutan anggota keluarga yang utuh. Dengan cekatan mataku menginspeksi setiap isi liat; daun serai wangi, lengkuas, pandan, dilam, pudak setagal, irisan temugiring, purut daun, melati, akar bunga kenanga, mawar, cempaka, tuak-tuak, krim kulit kayu susu. Oh, ya, tak lupa lulur kuning dan putih.
Kini, penutup liat-liat itu menggumpal dengan debu. Barangkali telah ditinggalkan akar bunga kenanga dan kawan-kawannya sejak Nini tak pernah lagi mondar-mandir dengan langkah cepat di antara ruang bahan-bahan dan ruang timung. Wangi timung yang telah menjadi penghidupan dan pancang yang kukuh bagi Nini, anak-anaknya, dan cucu-cucunya selama puluhan tahun berangsur-angsur padam. Hingga usiaku matang untuk menikah, tungku untuk menjarang racikan timung tak pernah lagi dinyalakan, oleh Acil[2] Esah, Paman[3] Bahari, maupun mamaku.
Sejak Nini tiada, aku, mama, Acil Esah dan Paman Bahari serta anak-anak mereka bertahun-tahun hidup bersarak dari rumah timung. Aku dan mama meninggalkan Banjarmasin untuk menjalani dunia yang jauh tidak ramah dan asing di luar Kalimantan. Butuh waktu yang lama sampai aku merasa tanah Jawa layaknya seperti di tanah kelahiranku, tetapi aku tetap mendengar suara dari memori-memori masa lampau memanggilku untuk berkunjung ke sebuah kota dengan ribuan kelok sungai ini.
“Acil, ulun sudah di rumah. Inggih, ulun bemalam sampai hari Minggu di sini. Kira-kira pian bulik wayah kapan, Cil?[4]” Pesan yang kukirimkan tiga jam lalu itu belum jua dibaca. Aku lantas mengunci layar gawaiku. Kurasakan guncangan di hatiku. Dan mataku kembali basah.
Bagi kami, Rumah Timung bertembok kuning di sebuah kampung di Banjarmasin Tengah itu tak sekadar sebuah bangunan Gajah Baliku yang disangga jati dan ulin dingin. Rumah Timung adalah rumah yang menghidupi kami dan mengajarkan kami cara merawat segala sesuatu, bagaimana merawat alam, jiwa raga, dan budaya Banjar.
Pemilu putaran kedua di September 2004 telah usai. Euforia pemilihan presiden dan wakil presiden pertama itu terjadi saat aku baru naik kelas empat. Banyak sekali kata-kata asing bergenangan di kepalaku. Aku tak banyak memahami bagaimana duniaku akan berubah setelah tampuk presiden berganti. Satu-satunya yang kupahami adalah dunia kecilku dalam rumah timung akan berjalan sebagaimana bertahun lalu. Wangi akar bunga kenanga yang dirajang kemudian dijarang[5] akan tercium sama. Melati, mawar, cempaka, dan pohon bunga kertas kami di pelataran akan terus rimbun dan beberapa tangkai dari mereka bergabung dalam tarian racikan timung yang menguarkan harum pekat.
Ruang bahan-bahan dijaga dengan galak oleh Acil Esah, anak bungsu Nini. Setiap harinya ia memastikan semua bahan dalam keadaan segar dan layak pakai. Ketika ada perempuan yang ingin melakukan timung, ia menyiapkan racikan dengan cara memotong-motong bahan dan dileburkan dalam air kemudian dipanaskan di atas tungku api. Lalu uap itu akan menguar di sekeliling ruang, memanjat langit-langit, dan menyusur ke seantero rumah dan pelataran.
Tiada rumah berbau seperti rumah yang berpancang jati dan berlantai ulin seperti rumah timung kami. Tiada siang dan malam tanpa hiruk-pihuk Acil Esah dengan pasukan lulur, bahan timung, dan gentong-gentong liatnya.
Terkadang kakanakan[6] kampung suka menyelinap ke dalam ruang bahan, dengan bantuanku si urang dalam. Acil Esah bakal tak henti-hentinya menggelengkan kepala melihat aku dan kawananku bermain masak-masakan dengan bahan sisa . Aku terkenal dengan keahlian meracik bumbu yang dahsyat. Kebahagiaan bagi kami terasa begitu sederhana dan tak langka. Sampai akhirnya ia berseru, “Uy, bemainan di pelataran haja, pintar ai. Di sini urang begawian![7]”
Semenjak usiaku beranjak 8 tahun, setiap libur sekolah, aku suka diajaknya bersama Paman Bahari, anak sulung Nini, untuk mengambil bahan-bahan dari petani dan pedagang di dalam dan luar kampung. Supra X kami, dengan dua bakul purun besar kosong di sisi kanan dan kiri motor, melaju ddi jalan-jalan senyap kala subuh hari. Kami singgah ke pasar, berkelana dari lapak ke lapak, bertukar celoteh dengan paman dan acil pedagang yang jenaka dan ramah. Usai bakul kami penuh, Acil Esah akan menggiringku ke lapak Acil Idah penjual wadai[8]. Tangan kecilku akan meraup secepatnya incaran-incaranku, apam paranggi, roti pisang, amparan tatak pisang dan sarimuka.
Kala matahari setengah menanjak langit, kampungku Gawi Sabumi, ramai dengan gerombolan kakanakan yang bermain di halaman rumah, pekerja kebun mulai menekuni rerimbunan dan buah-buahan di ladang, petani telah lama berkutat dengan benih padi dan lumpur di sepatu Panjang mereka, asap-asap di dapur pada saling beradu, ayam-ayam pada berebut pakan. Supra X kami menghentak-hentak jalan dan berhenti di depan rumah bertembok kuning. Di pelataran dan tanah bawah tangga berbaris pot-pot mawar, melati, kenanga, jeruk purut, cempaka, dan bunga jarum. Penghidupan yang Nini rawat dengan kedua tangannya sendiri.
“Ni, ujarnya Desi handak bekawinan minggu ini. Inya handak basinggah ke rumah lawan kuitan bini lawan mintuhanya[9],” ujar Acil Esah sembari mengangkut purun berisikan berbagai macam bahan timung, sementara itu aku dengan cepat berlari memagut Nini. Hatiku merasa bungah karena rumah timung akan ramai. Desi adalah tetangga kami yang langkar[10]. Kulitnya sawo kecoklatan dan bercahaya menyaingi sorot keemasan matahari.
Nini menggandengku masuk rumah. Pekerjaan pun dimulai. Seperti biasa, Acil Esah menakar bubuk lulur putih dan kuning yang dipisahkan dalam dua mangkuk dan keduanya dicampur dengan minyak zitun dan susu secukupnya sampai menjadi adonan likat[11]. Kemudian ia membuka gentong-gentong liat dan menakar berbagai bahan ke dalam panci. Tangannya meracik seperti ia tengah menarikan Baksa Kambang, sakral, indah, dan seolah sepenuh jiwanya teriring.
Dari pelataran terdengar celotehan Desi dan dua suara lainnya. Nini segera menyambut di depan pintu. Aku melangkah ke ruangan tempat Nini dan Acil Esah bekerja, tikar purun telah terhampar di lantai, dua batok kelapa berisi lulur putih dan kuning, sebotol minyak zaitun, dan kipas angin yang berlenggak-lenggok ke arah kiri dan kanan.
“Inggih, Insya Allah beakad Jumat ini. Bakal laki lawan mintuha ulun lain urang Banjar, jadi ini pertama kalinya sidin basinggah ke rumah timung, malihat urang beluluran lawan batimung,”[12] ujar Desi dengan senyum semringah. Ia telah siap dengan tapih [13]yang membalut tubuhnya.
“Saya baru tahu luluran dan timung adalah budaya Banjar, bahkan tradisi sakral sebelum melakukan pernikahan dengan pengantin suku Banjar,” sahut mertua Desi dengan malu-malu. Rupanya, ia datang dengan antusiasme yang tulus untuk mengenal budaya Banjar.
Sembari membalurkan lulur kuning ke lengan Desi, Nini dengan lincah menceritakan bagaimana suku Banjar menunjung nilai-nilai budaya beluluran dan batimung. “Batimung itu penanda identitas suku Banjar. Sederhananya, batimung adalah tradisi bagi kedua mempelai untuk membersihkan badan dengan bahan-bahan dari alam, sebaiknya dilakukan seminggu atau tiga hari sebelum pernikahan supaya wajah pengantin kelihatan berseri dan badan terasa bugar. Jadi, saat bersanding di pelaminan, pengantin tidak mengeluarkan bau keringat atau aroma bau yang tidak sedap, tetapi berganti menjadi bau harum yang menambah pesona.”
Lulur kuning likat yang telah dibalurkan lalu dicampur dengan bubuk lulur putih supaya mempermudah daki kehitaman keluar dari dalam kulit saat digosok dengan telapak tangan. Dengan sekuat tenaga dan ritme teratur Nini menekuni pekerjaannya. Jika dilihat selayang pandang memang tak terasa berat, tetapi ternyata butuh bertahun-tahun untuk terbiasa melulur sekaligus menghidupkan suasana dengan bercakap-cakap tanpa napas yang tersenggal.
Desi baru usai membersihkan diri dari kamar mandi disambut oleh uap wangi rebusan akar, batang tumbuhan, dan bunga-bungaan yang membumbung, sementara itu di kamar sebelah, Acil Esah sesekali mengaduk bahan timung yang meluap-luap dalam panci. Setelah mendidih, ia beranjak dari bangku kayunya dan meletakan panci di lantai kamar.
“Kalau mandi sehabis beluluran, kulit akan terasa halus dan licin,” ucap Nini sembari mempersiapkan tikar purun dan selimut tebal, sementara itu Acil Esah mempersilakan Desi untuk duduk di sebuah kursi kayu kecil dengan tinggi 20 sentimeter. Aku mengenali betul tikar purun dengan anyaman yang rapi dan berwarna-warni itu adalah karya tangan Acil Esah, yang kelak bertahun-tahun kemudian menjadi mata pencaharian sampingannya saat Nini telah tiada.
Panci berisi rebusan timung tadi diletakkan di bawah kursi tempat Desi duduk dan Acil Esah mengulurkan wancuh[14]. Kemudian, seluruh tubuhnya, kecuali kepala, diselimuti tikar purun yang dibentuk kerucut. Acil Esah lalu melapisinya dengan selimut tebal supaya kelembapan uap tidak keluar dan uap bisa meresap ke dalam pori-pori tubuh.
“Diaduk-aduk, lah, pancinya, supaya uapnya naik,” pinta Acil Esah yang disambut anggukan mengerti oleh Desi.
“Rebusan timung itu kada gasan membarsihakan kotoran di awak haja, tapi jua membersihkan diri kita sebelum pernikahan,[15]” sambung Nini sambil mengelap bulir keringat yang berkejaran di dahi Desi.
Proses mandi uap itu diulangi sebanyak tiga kali. Acil Esah mondar-mandir mengangkut panci yang bergejolak. Dan petang itu membawa sorot keemasan yang mencuri celah jendela, mebasuhi Nini, Desi, dan kedua perempuan yang duduk batalimpuh[16].
“Beluluran dan batimung itu bukan sekadar menggosok daki dan menjaga uap timung, tetapi juga bagaimana kita bisa merawat diri dari apa yang telah disediakan alam. Kita mengambil secukupnya tanpa serakah. Kita membersihkan sebaik-baiknya tubuh yang diciptakan sedemikian indah dan sempurna oleh Allah,” pungkas Nini. Dan memori berusia dua dasawarsa itu ditutup oleh desir halus pepohonan rimbun sekitar rumah dan bunga kertas berwarna koral kami yang makin lama terdengar gaduh di telingaku.
“Maesa, bangun, Nak. Acil di sini.”
Aku sangat mengenal tepukan lembut di bahuku ini. Mataku menangkap gambaran kabur seorang wanita paruh baya berdiri di hadapanku, yang makin lama menjernih. Hatiku berdegup mengetahui Acil Esah dan Paman Bahari telah menungguku bangun sejak tadi. Jemariku lamban meraih lengan Acil Esah yang segera disambutnya dengan pelukan lembut, seperti yang kuhafalkan dua dasawarsa lalu. Betapa sebuah pelukan bisa menghangatkan sekujur tubuhku dan tiap jengkal ruangan ini.
Hawa Jumat pagi itu menyentuh kulitku seperti menyambutku datang. Kakiku mondar-mandir di depan pot-pot rimbun lagi nyarak[17], membersihkan dedaunan kering, patahan ranting, kelopak bunga yang berwarna coklat, dan sembarang rerumputan hijau. Kupikir hujan kemarin malam telah membawa semua kemelut ribut di dadaku dan menyusun kembali fragmen-fragmen memori masa lampau di rumah timung. Pertumbuhan rimbun di pelataran yang silih berganti menyadarkanku, kini aku hidup dalam fragmen yang baru. Kuputuskan bahwa rumah timung ini juga akan mengalami hal yang sama. Rumah timung akan membumbungkan uap wangi ke seantero kampung kembali.
Aku dan Acil Endah duduk berdampingan di kursi jati yang tampaknya merupakan penghuni baru rumah ini. Di antara kami terdapat dua lembar undangan yang terbuka. Seulas senyum terbit di wajah teduh Acil. “Himung banar acil dapat kabar ikam handak kawin, Maesa. Yang semalam tuh jua, kah, urangnya?[18]” tanya Acil.
“Inggih, Cil. Sesuai yang ulun habari pian semalan, ulun lawan calon laki ulun baniat batimung di rumah sini, kira-kira Maghrib ini inya datang[19],” ucapku perlahan-lahan sambil memperhatikan air muka Acil. Dan satu anggukan pasti dari Acil telah memberikanku jawaban yang melegakan.
Sore itu daun pintu dan jendela rumah timung terbuka lebar menyambut segala yang hendak bertandang. Kakanakan bebinian [20]mulai memadati pelataran dengan permainan sederhana dan celoteh ribut. Beberapa tetangga berdatangan untuk melihat kegiatan kami. Bagi generasi-generasi baru, kegiatan menimung secara tradisional kampung telah lama tidak terlihat, kebanyakan pengantin baru memilih melakukan timung di spa-spa modern yang berada di tengah kota.
“Esah, dangar-dangar handak dibuka pulang kah Rumah Timung?[21]” tanya Acil Jubaidah dengan bersemangat, tetangga kami yang bersahabat dengan Acil Esah sejak masa remaja.
“Insya Allah, handak mulai baluluran dan batimungan lagi di rumah ini dibantu anak binian. Handak melanjutakan apa nang Nini gawi. Kita mestinya cagar melestarikan budaya lawan tradisi urang Banjar[22],” jawab Acil Esah sembari meluruhkan beberapa isi bahan timung dalam kemasan. Melihat itu, aku teringat dengan gentong-gentong liat Nini, kini, gentong itu digantikan oleh timung yang dikomersialkan secara praktis dalam kemasan plastik. Berkat itu, timung kini dapat dilakukan sendiri di rumah. Timung menjadi makin rekat baik dengan masyarakat Banjar sendiri maupun luar.
“Bujur banar, Sah. Budaya Banjar kita ini harus dilestarikan, lamun kada kita nang melanjutakan siapa pulang?[23]” Acil Jubaidah mengangguk-angguk setuju. Ia mencolek lengan Acil Esah dan melanjutkan, “Di kampung ini, Sah, urang mulai kada kenalan lawan budaya kita surang ulih sudah banyak tarpangaruh lawan budaya luar. Padahal, budaya Banjar hitu pang identitas kita saurangan.[24]”
Kedua anak perempuan Acil Esah sibuk menyiapkan lulur putih dan kuning dan perlengkapan timung seperti tikar purun, selimut tebal, panci, dan kayu dudukan. Betapa menghangatkan hati mendengar hiruk-pihuk Rumah Timung, bahwa budaya timung di Kampung Gawi Sabumi bakal terbit kembali. Pancang uap wangi timung telah menghidupkan rumah ini, berbaur dengan alunan merdu celoteh anak-anak dan tetangga kami yang bercakap-cakap. Dan desir halus rimbun bunga kertas berwarna koral yang setia meneduhi Rumah Timung memanggil-manggilku untuk menyambut calon suamiku.
Tamat
Catatan penulis
Rumah Timung adalah cerita pendek fiksi berdasarkan pengalaman penulis sebagai anak dari perempuan pelulur petimung. Cerpen ini ditulis untuk mengingatkan pembaca untuk merasa bangga dengan budaya/tradisi Kalimantan Selatan dan melestarikannya.
Secara tradisi, perempuan Banjar adalah pelaku perawatan kecantikan yang sangat aktif. Mereka melakukan kegiatan rutin untuk menjaga kecantikan tubuhnya, salah satu perawatan kecantikan lahiriah atau fisik adalah balulur dan batimung, Hal ini didorong oleh konsep cantik perempuan Banjar adalah wajah yang berseri, kulit yang bersih dan bersinar serta aroma badan yang harum. Perawatan ini pun dapat dilakukan di rumah, seperti yang dilakukan di Rumah Timung.
Catatan kaki
[1] Cantik
[2] Bibi, saudara perempuan dari ayah atau ibu
[3] Pakcik, saudara laki-laki dari ayah atau ibu
[4] Bibi, saya sudah di rumah. Iya, saya menginap sampai hari Minggu di sini. Kira-kira kapan Bibi pulang?
[5] Direbus dalam air
[6] Anak kecil
[7] “Uy, bermain di teras rumah aja, anak pintar. Di sini orang kerja!”
[8] Jajanan atau kue tradisional
[9] Nek, katanya Desi akan menikah minggu ini. Ia ingin singgah ke rumah berserta ibunya dan mertua perempuannya
[10] Cantik
[11] Kental
[12] Iya, Insya Allah akan akad Jumat ini. Calon suami dan mertua perempuan saya bukan orang Banjar, jadi ini pertama kalinya berkunjung ke rumah timung, melihat orang luluran dan timung
[13] Sarung
[14] Centong untuk mengaduk
[15] Rebusan timung itu tidak hanya untuk membersihkan kotoran di tubuh aja, tetapi juga membersikan jiwa raga kita sebelum pernikahan
[16] Bersimpuh
[17] Cerah
[18] Senang sekali Bibi mendapat kabar kamu akan menikah, Maesa. Yang kemarin itu juga, ya, orangnya?
[19] Iya, Cil. Sesuai yang saya kabarkan kepada Acil kemarin, saya dengan calon suami saya punya niat melakukan timung di rumah sini, kira-kira Maghrib ini dia datang
[20] Anak-anak perempuan
[21] Dengar-dengar, Rumah Timung akan dibuka kembali?
[22] Insya Allah, mau mulai melakukan luluran dan timung di rumah ini dibantu anak saya. Kami ingin melanjutkan apa yang Nini kerjakan. Kita harus melestarikan budaya dan tradisi orang Banjar
[23] Sangat benar, Sah. Budaya Banjar ini cagar kita lestarikan, kalau bukan orang Banjar, siapa lagi yang melanjutkan?
[24] Orang mulai tidak mengenali budaya kita sendiri karena sudah banyak terpengaruh dengan budaya luar. Padahal, budaya Banjar itu adalah identitas kita sendiri