Begitulah Manusia, Selalu Ingin Mengusir Kepedihan

Karina
4 min readMay 1, 2021

--

Subuh itu mereka habiskan duduk berdua di pantai di perkampungan nelayan. Dari tempat mereka duduk terlihat bintik-bintik lampu perahu nelayan yang bergerak perlahan di tengah laut dalam perjalanan pulang menuju dermaga setelah melaut sejak tengah malam. Para nelayan balik memandangi mereka, tak ada lambaian dan teriakan, hanya berbicara dengan teman-teman mereka sendiri. Figur para nelayan itu begitu kecil dengan dayung dan jaring ikan seperti bintang timur yang menyala indah di atas kepala mereka.

Sepasang remaja itu selalu duduk menunggu matahari terbit di tempat yang sama. Saling membisu, namun tak canggung. Kali ini mereka menyaksikan rombongan kalong terbang melawan angin dengan latar belakang langit yang seoranye jeruk.

“Hanya butuh satu anomali untuk merenggut semuanya dari kita. Alasan untuk terus hidup, kebahagiaan yang kita gantungkan kepada orang lain, momen-momen yang kita ingin hidup di dalamnya selamanya sehingga kita mencoba menggenggam momen itu,” kata si Gadis dengan pembawaan melankolisnya.

Si remaja laki-laki mengangkat kepalanya. Si Gadis terus bicara aneh akhir-akhir ini. Ia memandangi si Gadis yang tak terusik dengan angin pantai yang meniup-niup rambut dan kulitnya. Sangat cantik.

Ia kembali menaruh dagunya di antara lutut. Punggung melengkung itu seakan sebuah pertahanan diri yang membalut tulang-tulang dan kulitnya yang rapuh agar tak hancur berserakan di atas pasir.

Pemikiran itu membuat remaja laki-laki itu kalut, dan si Gadis mengetahuinya. Si gadis mengusap lembut pundaknya, “Begitulah manusia, selalu ingin mengusir kepedihan.”

“Apa kau telah berhenti menarik jaring?” tanya si Gadis.

Si remaja laki-laki masih membisu akibat perkataan si Gadis tentang anomali yang bersarang di kepalanya. Kemudian di depan matanya sebuah ladang rumput luas terhampar dengan domba-domba bermain di atasnya sementara seorang tukang jagal mengawasi dengan tatapan membidik antara satu domba lalu yang lainnya.

Si remaja laki-laki segera terlarut dengan suasana. Ia memandang sedih domba-domba sebab di hari-hari baik mereka tidak menyadari kemalangan dan malapetaka yang telah menanti mereka. Domba-domba itu direbut dari Ibunya dan teman-temannya untuk dibawa ke tempat jagal. Si remaja laki-laki menutup matanya, menolak menyaksikan horor yang terjadi selanjutnya. Kaki domba-domba itu tak berdaya untuk melarikan diri, hanya mampu mengembik pilu dengan mata hitam mereka yang besar. Sang Jagal, bagaimana pun, tetap mendatangi mereka satu per satu, mengangkat pisau besi yang melengkung seperti mata kapak di hadapan domba-domba itu.

Si remaja laki-laki dengan mata menutup erat menyeret kedua kakinya keluar dari tempat jagal. Ia tergelincir di depan pintu gerbang halaman rumah jagal, kulit lututnya robek dan darah mengalir keluar, namun ia segera bangkit dan berlari dalam ketakutan hebat menuju padang rumput untuk menemui domba-domba. Ia mencoba menarik satu domba untuk diselamatkan dari anomali yang mengintai hari-hari baik mereka, tatapan membidik sang Jagal. “Ikutlah denganku!” Air matanya berhamburan keluar.

Tetapi domba itu begitu berat. Si remaja laki-laki kehilangan keseimbangan dan terjungkal, menabrak seekor domba yang tengah merumput di belakangnya, bertubuh kurus dengan tanda lahir aneh di kepala. Kemudian ia mencoba menarik domba itu. Di tengah usahanya menarik domba wajah mengerikan sang Jagal tiba-tiba berada di hadapannya, Mata merah sang Jagal tak membuat gerakan-gerakan kecil, melainkan menatap si remaja laki-laki dengan tatapan membidik yang membuatnya mengigil hebat.

Si remaja laki-laki berlari sekuat tenaga bersama domba kurus keringnya menjauhi sang Jagal dan ladang rumput. Keduanya berlari dengan sangat cepat menuju bukit. Domba-domba di ladang rumput menyaksikan mereka seakan mengejar raksasa bundar berwarna oranye yang perlahan muncul dari timur bukit.

Pagi telah dimulai di perkampungan nelayan itu. Penduduk mulai keluar dari rumah mereka masing-masing, pergi ke pasar, dermaga, kebun-kebun mereka. Dermaga dipenuhi oleh nelayan yang membawa tangkapan untuk dijual di pasar ikan.

Dua orang nelayan yang datang dari dermaga mendekati seorang remaja laki-laki sendirian terbaring tanpa alas di bibir pantai. Mereka mengenalinya karena dulu remaja itu bekerja membantu menarik jaring untuk para nelayan dan memperoleh sekantong ikan sebagai upah.

Namun, suatu hari ia tidak muncul. Ia ditemukan duduk di bibir pantai. Sejak itu ia menghabiskan subuh seorang diri di tempat yang sama.

“Apa yang dilakukannya di sana?” tanya salah satu dari mereka.

Seorang nelayan memandang wajah si remaja laki-laki dengan sedih. Betapa tersiksanya jiwa remaja itu, pikirnya. Ia yang paling hancur ketika mengetahui si Gadis menghilang di pantai di suatu subuh yang berkabut. Usaha penduduk perkampungan nelayan untuk mencarinya sia-sia belaka, si Gadis tak pernah kembali, namun si remaja laki-laki tetap menunggu mayat si Gadis dimuntahkan oleh ombak seperti di waktu subuh ia menghilang.

“Menyelamatkan domba-domba,” sahut si Gadis sebelum tubuhnya menghamburkan air seolah itu adalah sebuah pancuran deras, dan bergabung bersama ombak-ombak di pantai.

1 Mei 2021

Karina

Cerpen ini terinspirasi oleh kutipan Schopenhauer di bawah

We are like lambs playing in the field while the butcher eyes them and selects first one and then another; for in our good days we do not know what calamity fate at this very moment has in store for us, sickness, persecution, impoverishment, mutilation, loss of sight, madness, death, and so on.

Arthur Schopenhauer, Parerga and Paralipomena

--

--